[PORTAL-ISLAM.ID] Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDIP, memimpin perolehan suara dalam pemilu kemarin. Mereka, karena itu mengirimkan begitu banyak oranggnya ke DPR. Dengan jumlah anggota terbanyak, PDIP berhak atas kursi Ketua DPR. Dan ya Puan Maharani, anak kandung Ibu Ketua Umum PDIP, yang juga mantan anggota kabinet Jokowi ditetapkan jadi ketua DPR. Hebat? Tidak. Ini perkara remeh-temeh.
Partai yang selalu suka menyibukan diri dengan yel-yel “merdeka” di awal diakhir pertemuan itu, serta hampir selalu menyertakan foto, bukan pikiran Bung Karno, entah bagaimana, dua kali mencalonkan Jokowi jadi presiden, dan sukess. Hebatkah PDIP? Tidak juga. Sama sekali tidak.
Kemenangan Jokowi, itu urusan lain, yang terlalu jauh untuk didekatkan pada kehebatan PDIP. Ini pekerjaan yang begitu banyak variannya, yang satu dan lainnya menunjukan dengan jelas bahwa kemenangan dalam politik pilpres, berputar disekitar kapital. Tidak lebih. Berapa PDIP menempatkan dana pada kas kampanye pilpres? Sisi-Sisi Unik Ibu Megawati, Bos besar partai ini, tak lagi menyebut Jokowi petugas partai untuk periode pemerintahan yang kedua saat ini. Apakah itu menandai Jokowi tidak lagi jadi petugas partai? Entahlah. Tetapi cukup beralasan untuk Jokowi percaya diri, untuk menyepelekan sebutan apapaun dari partai ini, untuk pemerintahannya. Mengapa?
Sebutan itu sama sekali tidak memiliki efek, sekecil sebutir pasir sekalipun untuk politik dan pemerintahannya. Sama sekali tidak. Itu hal biasa saja dalam politik, yang
level kompleks dan kemudahannya, datang silih berganti semudah kerbau bernapas.
Bukankah setelah menyebut Pak Jokowi petugas partai, PDIP kembali mencalonkannya pada pilpres kemarin?
Mencalonkan orang gagal? Jelas tidak mungkin. Orang yang dicalonkan harus punya record top dalam berbagai aspek. Tidak bisa standar-standar saja. Dan PDIP mencalonkannya. Disitulah rumit memetakan arah pernyataan kritis Pak Masinton Pasaribu dan Arteria Dahlan beberapa hari lalu.
Masinton jelas menilai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020, yang judul terpanjang didunia itu, membentengi corporasi. Lebih jauh dan sangat kritis, Perpu ini, dalam penilaiannya “menyabotase” konstitusi.
Lalu Arteria Dahlan, cukup tegas mendesak atau apapun nama lain yang sama, KPK menyelidiki pelaksanaan kebijakan kartu prakerja. Arteria menilai, dalam gaya politisi pemula yang cerdas, ada kekuataan lain, lebih besar dari presiden.
Tentu kekuatan besar itu bukan PDIP. Sebab bila PDIP adalah kekuataan besar
itu “mengendalikan Jokowi” maka Arteria akan terkunci, suka atau tidak. Kekuatan besar itu, dapat dipastikan, bukan PDIP. Lalu apa tipikal kekuatan korporasi itu atau siapa? PDIP pasti telah terlatih terampil berada dalam situasi kompleks, menang dalam situasi berbahaya itu. Yang tidak mudah dipeetakan adalah apakah PDIP pernah mengidentifikasi bahwa juga terlihat lebih mudah diakali, dibawa pada tujuan yang berseberangan dengan impian mereka yang mereka kehendaki.
Apakah PDIP pernah mengidentifikasi bahwa pernah terlihat hebat awalnya, sebelum akhirnyan angin membawa, menerbangkan mereka hingga terjatuh dan
menjadi pembela paling tangguh atas sikap politik lawan? Hanya PDIP yang tahu.
PDIP sejauh dapat diidentifikasi ditahun 1999, cukup memberi warna panggung
politik dengan sikapnya, yang sendirian, menolak perubahan UUD 1945. Terlihat untuk beberapa saat PDIP cukup kukuh dengan sikapnya itu difase awal. Apa yang terjadisesudahnya?
Pak Jacob Tobing, politisi Golkar yang beralih haluan ke PDIP di awal reformasi itu, berkali-kali memimpin rapat di PAH I BP MPR. Risalah pembahasan UUD 1945 di PAH I BP MPR menunjukan cukup jelas, PDIP tidak terlihat hanya sekadar menghisi daftar hadir. Mereka cukup aktif dalam pembahasan perubahan UUD 1945.
Apa yang bisa PDIP berikan, sekadar berbagi cerita sejarah perubahan UUD 1945 kerpada rakyat, setidaknya kepada pemilih mereka tentang perubahan pasal 6 UUD 1945? Benteng pribumi ini hancur, luluh lantak, memang bukan karena prakarsa PDIP, tetapi energinya mungkin tak cukup tersedia untuk bergembira dengan heroisme bumiputra, yang selalu disukai Bung Karno.
Tegaslah PDIP PDIP mau apa dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang Masinton, kader paling kritis ini, nilai “mensabotase konstitusi” itu? Sampai kapan kajian atas Perpu konyol ini dilakukan PDIP dikantornya? Lalu PDIP mau apa juga dengan pelaksanaan kartu prakerja, yang dinilai Pak Arteria Dahlan hanya menguntungkan segolongan kecil orang?
Menyerahkan Perpu itu ke MK mengurusinya? Biarkan MK yang memutuskan? Atau apa? Apakah PDIP hanya akan terus bicara seperti kalangan non parpol dan legislator? Padahal suka atau tidak, senang atau tidak, penilaian Masinton beralasan kuat dalam kerangka pemikiran konstitusional.
Apa PDIP mau kesampingkan konstitusi? Memang mengenyampingkan konstitusi bukan perkara sulit dalam politik dimanapun didunia yang, bahkan sangat
mengagumkan konstitusi. Tetapi apa iya PDIP memiliki kesanggupan menyusuri jalan itu? Sejarah menujukan jalan dan cara itu hanya berfaedah bagi segelintir orang.
Siapa mereka? Korporasi. Sekali lagi korporasi. Dan saya cukup percaya PDIP memiliki pengetahuan yang lebih dari memadai bahwa korporasi tidak pernah jauh dari oligarki. Korporasilah jantung dari munculnya oligarki dalam politik modern, sedemokratis apapun politik modern itu.
Sejarah mengharuskan siapapun menaruh harapan pada PDIP menghadapi masalah ini. Itu, karena Bung Karno, yang potretnya seolah identik dengan PDIP, tidak menyediakan ruang besar dalam pemikirannya untuk bermanis muka dengan korporasi.
PDIP, andai bisa, perlu sedikit usaha menyusuri kerja-kerja, relatif kotor dalam
banyak aspek, korporasi mendorong pembentukan Bank Sentral di Amerika. Susuri lorong politik korporasi memonopoli minyak dunia, dalam semua aspek; memperoleh konsesi, pengeboran, pengangkutan dan pemasaran. Kelompok ini, sekadar ilustrasi sederhana, bermain dengan uangnya menggolkan tujuan-tujuan kotor mereka.
Nixon, tulis Anthony Sampson, selalu dianggap sebagai teman perusahaan
minyak, dengan basis California dan sekutu-sekutu Texasnya. Slush fund, dana taktis, sebeasar $18.000.yang ketika terungkap pada tahun 1958 nyaris menghancurkan kampanyenya untuk wakil presien, mencakup banyak uang minyak, termasuk sebagian dari Herbert Hover Junior.
Dalam kampanye tahun 1968, tulis Sampson lebih jauh, Nixon sekali lagi mendapat banyak sokongan dari tokoh-tokoh perminyakan, termasuk $60,000 dari
Robert Anderson dari Arco. Dan sumbangan terbuka sebesar $215,000 dari keluarga Mellon. Nixon memang tidak cukup apresiatif terhadap mereka sesudah itu. Tetapi ini menarik, pada kampanye periode berikut uang minyak mengalir lagi ke kas kampanyenya.
Maurice Stan dan Herbert Kalbach, dua penggalang dananya bekerja mendapatkan dana dari korporasi minyak. Para pejabat Exon, tulis Sampson dalam The Seven Sister memberi $217,747 dipimpin oleh sang Chairman, Ken Jamieson (2,500),
Direktur Jim Garvin ($,200), dan Ketua afiliasi Yunani mereka, Thomas Pappas
($101,672), sementara keluarga Rockeffeler memberi $268,000. dan Socal memberi $163,000, dipimpin oleh chairman mereka, Otto Miller ($50,000), termasuk $12,000.
Dari John McCone. Mobil, tulis Sampson hanya emberi $4,300. Mengidentifikasi kekuataan besar, oligarki, bemain di wilayah politik, yang terlihat pada pernyataan Pak Masinton dan Pak Arteria Dahlan, untuk alasan kesehatan penyelenggaraan pemerintah, harus diapresiasi. Terlepas bobot sifat oficialynya, pernyataan keduanya terlihat memiliki bobot sebagai pernyataan terkordinasi.
PDIP jelas telah terlatih dan punya keterampilan dalam mengarungi lautan politik republik tercinta ini. Tak diragukan. Tetapi apakah Fraksi PDIP di DPR memiliki
kemampuan menyatak menolak Perpu dan pelaksanan pelatihan kartu prakerja? Itu soal besar. Levelnya mungkin setara corona saat ini.
Tetapi ketegasan kecil terhadap soal besar, akan membawa PDIP kepanggung besar. Besar dalam jumlah jelas itu bagus, tetapi besar dengan ide dan ketegasan, selalu menjadi kenangan hebat, sehebat Bung Karno dikenang lawan dan kawan. Tegaslah PDIP atas dua soal itu.
Penulis: Margarito Kamis