[PORTAL-ISLAM.ID] Kadang puja-puji pada penguasa itu berlebihan. Budaya menjilat itu sebenarnya menghinakan. Di samping merusak reputasi sendiri juga kadang itu masuk dalam kategori dusta nyata.
Biasanya jilatan itu palsu dan sarat kepentingan. Yang menarik adalah Presiden Jokowi yang disamakan dengan sifat khalifah penerus Nabi.
Jokowi itu lembut mirip Abu Bakar Shiddiq, kepemimpinan mirip Umar bin Khattab, dermawan mirip Usman bin Affan, dan cerdik mirip Ali bin Abi Thalib.
Di tengah kebencian pada sistem dan terma khilafah, Presiden Indonesia dimirip-miripkan dengan khalifah. Ada nuansa keterlaluan dan kemunafikan.
Membandingkan itu harus jelas indikator pembandingnya. Menyederhanakan untuk nuansa kepentingan politik adalah mengada ada dan tercela. Bahkan bisa menjadi menghina para shahabat utama. Perendahan derajat namanya.
Abu Bakar digelari shiddiq karena keimanannya tinggi. Ia figur yang jujur dan tidak pernah bohong atau membohongi umat. Ia keras pada kekafiran, mereka yang tak membayar zakat karena anti syari'at diperangi. Begitu juga yang mencoba menjadi "mirip" Nabi diperanginya pula. Lembut pada sesama keras pada orang orang kafir.
Umar ibnul Khattab semua tahu ketegasannya bukan peragu. Ditakuti karena selalu jelas akan sikapnya. Belum pernah melakukan politik pencitraan. Jika "blusukan" ikhlas karena Allah bukan untuk pujian. Memanggul sendiri gandum tidak dengan membawa pencatat agar dipublikasikan. Jauh dari kepura-puraan.
Utsman bin Affan orang kaya dan dermawan. Kekayaan didapat dari usaha sendiri. Ketika menjadi khalifah tidak memperkaya diri dari jabatan. Beli sumur Yahudi untuk kepentingan umat. Membeli gandum 1000 unta dibagikan untuk siapapun yang perlu. Santun, bukan membagi dengan cara melempar-lempar. Utsman figur jujur dan pemalu. Malaikat pun malu kepada Utsman, begitu menurut hadits.
Ali bin Abi Thalib seorang pemberani, cerdas dan gudang ilmu. Sabda Nabi "ana madinatul 'ilmi wa Ali babuha". Intelektual di zamannya. Sangat hormat kepada pendahulunya. Pemuda masuk Islam pertama. Pedang dan pena adalah senjata bagi dakwahnya.
Dengan sekilas profil empat Khalifah ini rasanya jauh jika Presiden Jokowi dimirip-miripkan dengan keempat shahabat mulia Nabi tersebut. Ada pemaksaan yang sungguh dinilai tak tahu malu.
Sebaiknya puja-puji tak harus sampai pada mengaitkan dengan kekhalifahan segala. Fakta pemerintahan Jokowi yang membenci khilafah tak pantas menyebut Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali dalam konteks kebijakan dan sifat. Ambivalensi jadinya.
Bisa saja jika ada orang yang justru membuat kemiripan lain. Misalnya Jokowi mirip Abu Lahab atau Abu Jahal. Bapak dari kebodohan. Nah repot nantinya.
Oleh karena itu meskipun wajar saja jika pemuja atau pendukung melakukan kampanye membantu promosi, akan tetapi jangan berlebihan lah.
Jokowi itu mirip dirinya sendiri. Ada yang suka tetapi banyak juga yang tidak. Clean and clear!
Penulis: M. Rizal Fadillah