SAYA angkat topi untuk instruktur kelas jurnalistik saya, Prita Kusumaputri, yang melayangkan protes ke Skill Academy by Ruangguru dan meminta videonya dicabut.
Alasan Prita luhur.
“Jelas berbeda dengan tujuan awal pembuatan kelas itu yang tujuannya untuk BERBAGI ilmu jurnalistik.”
Prita mengungkapkan empat hal penting ini:
- Tak ada pemberitahuan dari pihak Ruangguru bahwa kelasnya akan masuk program Prakerja;
- Kesepakatan awal, kelas itu tampil di Skill Academy untuk pembelajaran pribadi;
- Kalau untuk pribadi, dia tidak keberatan karena menggunakan uang pribadi untuk akses kelas. Beda dengan Prakerja, yang MENYANGKUT APBN.”
- Syuting video itu dilakukan tiga kali, yakni 25 November 2019, 2 Desember 2019, dan 5 Desember 2019.
Sebagai murid, saya mengakses kelas Prita di laman Skill Academy melalui bundling Paket Prakerja berjudul “Sukses Kerja Sampingan di Masa Corona” yang terdiri dari 6 kelas. Harganya Rp1 juta.
Tapi, saya hanya membeli 1 kelas Prita itu berjudul “Jurnalistik: Teknik Menulis Naskah Berita Seperti Jurnalis Andal”.
Ketika menonton videonya, beda lagi judulnya: “Cari Uang sebagai Penulis Lepas/Jurnalis untuk Media”. Judul ini sama dengan ketika melakukan pembelian seharga Rp220 ribu.
Beda-beda bahasanya. Namanya juga dagang. Judul dibuat menggugah selera membeli.
Kasus Prita ini menunjukkan ada ketidakjujuran dalam relasi bisnis antara pihak vendor dan platform digital.
Ya, ini bisnis. Dagang.
Saya kutip data yang sudah banyak diunggah di media sosial bertajuk “Update Data Program Kartu Prakerja”.
Ternyata, Skill Academy by Ruangguru sejauh ini menguasai market share berdasarkan nilai transaksi. Yakni: 68,9% senilai Rp82,99 miliar.
Posisi kedua adalah Sisnaker (Kemenaker) sebesar 10,9% senilai Rp13,14 miliar.
Dari 456.265 peserta Gelombang I dan II, sebanyak 231.975 telah membeli video pelatihan dengan total transaksi Rp120,7 miliar. Harga rata-rata transaksi Rp520.370.
Prediksi saya dalam tulisan-tulisan sebelumnya adalah Ruangguru menargetkan minimal menguasai 50% market share.
Beberapa informasi sumber dekat juga mengonfirmasi besaran komisi jasa untuk platform digital, yaitu 20%-30% (sama dengan prediksi saya) dari total video terjual.
Pak Presiden Jokowi, silakan lihat fakta di atas. Bisnis berlangsung di depan mata kita semua. Mengatasnamakan kesusahan keadaan bernama COVID-19.
Ini jual-beli video, Pak Presiden. Pakai APBN. Komisi 20%-30%.
Tapi Presiden masih saja bermasai-masai dengan permainan citra dan opini. “Prioritaskan Prakerja untuk korban PHK.”
Kalimat Presiden itu menampar angin. Tidak bermakna sama sekali. Mengapa? Memang begitulah desain awal sasarannya.
Saya kutipkan dokumen eksklusif materi “Rapat Koordinasi Program Kartu Prakerja” Kemenaker pada Rabu, 1 April 2020. Artinya ini berlangsung setelah COVID-19.
Pokok-pokok kebijakan untuk peserta memang 3 kalangan:
- Pekerja sektor formal KORBAN PHK;
- Pekerja harian sektor informal KORBAN PHK dan kesulitan usaha:
- UMK dan koperasi yang mengalami kesulitan usaha.
Saya menemukan dalam materi tersebut, pada bagian catatan, Presiden-lah yang mengarahkan dana beli video Rp1 juta.
“Perlu arahan untuk KOMUNIKASI PUBLIK>>>Kebijakan yang sudah disampaikan Presiden: Rp5 juta (Rp1 juta UNTUK PELATIHAN, Rp1 juta/bulan (selama 4 bulan) untuk insentif.”
Jadi cukup terang. Hulu masalah Salam 5,6 Triliun adalah KEBIJAKAN PRESIDEN Rp1 juta untuk pelatihan.
Logika ada gula, ada semut masuk di sini.
Karena ada potensi market sebesar Rp5,6 triliun, yang duitnya juga jelas yakni dari APBN, yang disahkan oleh pemerintah melalui program Prakerja (Perpres 36/2020), tentu saja semut berduyun-duyun datang.
Kegagalan program andalan Presiden Jokowi ini semakin terang benderang. Jika isu Prakerja aka beli video ini bergulung-gulung lebih besar, bukan tidak mungkin rakyat pun akan marah dan merembet ke Omnibus Law Cipta Kerja yang sekarang kelihatannya sudah ‘rapi’ untuk diketok.
Lihat survei Litbang Kompas hari ini. 76,5% responden tahu program Prakerja. Tapi 43,8% tidak yakin program itu dapat membantu pencari kerja mendapatkan pekerjaan di tengah wabah COVID-19.
Karena apa? Karena lapangan pekerjaan tetap sempit!
Saya membayangkan rakyat saat ini seperti penumpang bus yang sopirnya adalah Presiden. Kita sudah teriak-teriak di depan ada jurang. Tapi sopirnya seolah santai saja. Tidak menginjak rem. Malah celingak-celinguk dan bilang, “Santai.”
Dalam ilmu politik, ada istilah kelompok kepentingan. Yakni mereka yang memiliki akses terhadap penyelenggara negara dan bisa mempengaruhi penentuan kebijakan publik.
Rhenald Kasali pernah menyebut warna kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi (waktu itu wapresnya JK) dipengaruhi oleh kelompok ekonom lulusan University of Illinois Urbana-Champaign. Go Illini!
Salah satu yang disebut adalah Denni Puspa Purbasari (saat itu Deputi II KSP Bidang Ekonomi) yang kini menjabat Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Prakerja.
Denni adalah mantan asisten staf khusus Wapres Boediono—pernah menyebut ketenangan Boediono menghadapi kasus Century selevel dengan sufi.
Masuk ke KSP pada zaman Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki—senior saya di YLBHI, dulu memegang bidang perburuhan, pun pendiri ICW.
Kang Teten ini yang bilang sendiri dahulu:
“Tidak boleh ada jual beli pengaruh untuk pengaruh politik sekecil apapun karena kantor presiden itu masih bisa dipakai untuk melobi jabatan, proyek, dan sebagainya.”
Nah! Pertanyaannya adalah apakah sekarang situasi masih begitu? Kantor presiden dipakai untuk MELOBI proyek? Proyek bertajuk 4.0?
Lobi itu bisa berbagai cara. Suap adalah yang terkasar. Ada cara lain seperti donor, menempatkan pejabat pada posisi korporasi, atau memberikan asistensi saat merumuskan kebijakan.
Tahun 2012, saya pernah tampil di Indonesia Lawyer Club (ILC) TvOne dan membuktikan dugaan keterkaitan antara pemberian grasi terhadap Schapelle Corby dan bantuan donor dari Australia sebesar Rp5 triliun untuk program pembaruan hukum. Polemik panas saat itu.
Bagaimana lobi Prakerja berlangsung?
Seperti buang angin. Ada baunya, tapi tak bisa dipegang.
Ruangguru mengadakan Learning Innovation Summit 2018 mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai keynote speaker. Apakah ini lobi? “Membeli” kredibilitas? Silakan nilai sendiri.
Direktur Komunikasi dan Ekosistem Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky berlatar belakang Treasury Director VISA Asia Pacific, SVP Public Policy and Government Relations GOJEK, sebelum masuk KSP.
Pemegang saham GOJEK salah satunya Nadiem Makarim (Mendikbud). Belva (Ruangguru) dan Nadiem adalah dua orang yang pada 2017 diundang rapat terbatas dengan Jokowi membahas pendidikan.
Jadi memang hubungan-hubungan ‘mistik’ terjadi sejak lama sebelum Prakerja. Melibatkan orang-orang dalam lingkaran tertentu.
Lobi sah-sah saja. Asal jangan korupsi dan merugikan rakyat.
Tapi setidaknya sekarang kita kutip saja pernyataan Kang Teten di atas bahwa kantor presiden jangan dijadikan tempat LOBI PROYEK.
Sejauh ini saya berposisi jelas: program beli video adalah proyek bisnis senilai Rp5,6 triliun dan itu berpotensi merugikan keuangan negara serta—mengutip Litbang Kompas—tidak diyakini dapat membantu pencari kerja.
Kepada para wartawan yang bertanya ke saya beberapa hari ini, “Apa saran untuk perbaikan program Prakerja?”
Saran saya adalah tidak ada saran.
Selain batalkan program beli video pelatihan.
Salam 5,6 Triliun.
(By Agustinus Edy Kristianto)
Saya angkat topi untuk instruktur kelas jurnalistik saya, Prita Kusumaputri, yang melayangkan protes ke Skill Academy by...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Jumat, 01 Mei 2020