[PORTAL-ISLAM.ID] Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menyebut, bakal ada daerah yang jadi percontohan skenario new normal. Suharso menyebut bahwa DKI Jakarta dibawah pimpinan Gubernur Anies Baswedan sudah memenuhi syarat.
"Terkait dengan langkah-langkah kesehatan untuk menentukan terkait pembatasan sosial. Sekali lagi bukan pelonggaran tetapi penyesuaian. Maka kalau nanti jika memenuhi syarat dilakukan pengurangan pembatasan sosial," ujarnya dalam video conference, Kamis (21/5/2020).
Dia menegaskan, penyesuaian PSBB harus memenuhi tiga kriteria. Kriteria pertama dan menjadi syarat mutlak adalah epidemiologi, yaitu Angka Reproduksi Efektif atau Rt kurang dari 1 selama dua minggu berturut-turut. Artinya, angka kasus baru telah menurun setidaknya selama dua minggu berturut-turut.
"Jika Rt kurang dari 1 dan penurunan kasus yang diikuti dengan pengurangan PSBB, bukan berarti virus sudah hilang, tetapi penyebaran virus sudah dapat dikendalikan," bebernya.
"Saya baru mendapatkan informasi misalnya dari Pemprov DKI bahwa mereka punya tempat tidur yang cukup untuk penderita COVID-19 dan sekarang mereka boleh dikatakan dokter dan perawat itu tidak terlalu berat menerima pasien," imbuhnya
Adapun kriteria ketiga adalah terkait surveilans, artinya kapasitas tes swab yang cukup. Pengetesan setidaknya harus mencapai 3.500 tes per satu juta penduduk.
Dia bilang, DKI Jakarta dapat diterapkan penyesuaian PSBB karena kapasitas tes laboratorium yang mencukupi dan memiliki strategi tes yang jelas.
"Menarik di Jakarta, 550 ribu tes per satu juta penduduk dan sudah di atas Thailand atau Malaysia, separuh lebih dari tes nasional ada di Jakarta," urainya.
New Normal Dilakukan Bertahap
Suharso Monoarfa, menegaskan bahwa pemulihan ekonomi dilakukan bertahap. "Memang harus bertahap, (pertimbangannya) pertama dengan tingkat persebaran virus yang rendah sampai tingkat kesiapannya," katanya.
"Jadi tergantung kesiapan publik dalam menjalankan ekonomi dan tergantung sistem pelayanan kesehatan," ujarnya lagi.
Dalam paparannya, dia menjelaskan ada 4 kerangka transisi pemulihan. Transisi itu dimulai dari kondisi yang ditandai sebagai huruf A, yakni tingkat kesiapan sistem rendah dan tingkat pertumbuhan virus tinggi.
Dari kondisi A itu, ada kondisi B dan C yang harus dilalui untuk mencapai kondisi D, yakni tingkat kesiapan sistem tinggi dan tingkat pertumbuhan virus rendah.
Pada kondisi A menuju B, dilakukan pemberlakuan PSBB, sehingga pengendalian virus dilaksanakan secara ketat. Pada transisi ini pemerintah juga berupaya meningkatkan sistem kesehatan publik.
Selanjutnya, dalam kondisi B menuju C, dimulai transisi ekonomi, namun kapasitas layanan kesehatan terus ditingkatkan agar memungkinkan untuk masuk ke tahap berikutnya. Jika penyebaran meningkat, daerah harus kembali ke tahap sebelumnya.
Terakhir adalah transisi dari kondisi C menuju D. Dalam kondisi ini, daerah dianggap mencapai new normal jika layanan kesehatan memadai dan penyebaran virus terkendali. Pemantauan dan tracking juga terus dilakukan.
"Jadi kalau A ke B itu PSBB-nya itu sudah ketat, ada fasilitas kesehatan cukup, B ke C itu perekonomian sudah baik, dan C ke D itu normal. Jadi kalau peta jalan ini diproyeksikan ke tingkat reproduksi efektif, selanjutnya akan kita bahas, kita bisa lihat siapa yang siap siapa yang pada posisi itu," imbuh Suharso.
Pada kondisi ini, dia menjelaskan bahwa akan diberlakukan protokol new normal, dalam hal merubah perilaku kesehatan dan keselamatan. Terdapat protokol bagi publik, khusus bisnis, dan pemerintah.
Secara umum, protokol bagi publik tidak berbeda dari yang selama ini berlaku seperti mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan sebagainya. Adapun protokol bisnis, terdapat sejumlah ketentuan sebagai berikut:
- Pembentukan tim kebersihan khusus
- Panduan untuk bekerja dari rumah, dan pembatasan tempat kerja
- Pemberlakuan tracking dan tracing
- Pemeriksaan temperatur
- Fasilitas cuci tangan di area publik (termasuk pariwisata)
- UMKM memproduksi masker, hand-sanitizer, pelindung wajah.
(Sumber: CNBC)