Pada status persis sebelum ini, saya memang angkat topi untuk KPPU yang menyoroti adanya potensi pelanggaran hukum persaingan usaha dalam pelaksanaan program biaya pelatihan Kartu Prakerja.
Tapi, saya tetap menyuratkan nada skeptis terhadap lembaga itu. Betulkah serius menindaklanjuti secara hukum atau gertak sambal?
KPPU punya sejarah buruk dalam hal korupsi. Salah satu komisionernya terbukti disuap Rp500 juta oleh seorang eksekutif Grup Lippo, 11 tahun lalu.
Itu masih membekas di benak saya, sebab saya juga menulis tentang itu dulu. Mengejarnya sampai lubang terkecil sebagai berita.
Sejarah itu rawan terulang. Bukan menuduh. Belum tentu dugaan saya benar. Tetapi kekhawatiran saya beralasan.
Salah satu investor Ruangguru adalah Venturra Capital—yang merupakan bagian Grup Lippo juga.
Apalagi Program Kartu Prakerja adalah program andalan pemerintahan Presiden Jokowi. Program negara.
Besar pula anggarannya: Rp5,6 triliun.
Gejala angin akan berbelok itu ada. Saya dikabari beberapa kawan.
Seperti dilansir oleh media kemarin dan hari ini, KPPU memandang persaingan yang sehat dalam program Kartu Prakerja dapat diwujudkan melalui lima REKOMENDASI.
Apa isi rekomendasinya, tidak penting sekarang. Tapi pertanyaannya adalah mengapa harus rekomendasi?
Sebenarnya ini lagu lama. Sudah menjadi rahasia umum. Ada celah aturan dalam UU 5/1999 yang memungkinkan itu.
Salah satu tugas KPPU memang memberikan SARAN DAN PERTIMBANGAN terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (Pasal 35 huruf e).
πTapi salah satu wewenang KPPU juga adalah melakukan PENYELIDIKAN DAN ATAU PEMERIKSAAN terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil penelitiannya. (Pasal 36 huruf c).
Dan menjatuhkan sanksi. (Pasal 36 huruf l).
Kasarnya—guyonan—bisa begini kira-kira:
Kalau dilobi, hasilnya rekomendasi. Kalau tidak dilobi, putusan dan sanksi.
Begitulah macam buang angin. Baunya tercium, ‘barangnya’ tidak kelihatan.
Kalau mau begitu sekalian, tidak perlu ada lembaga pengadilan. Ubah saja semua jadi lembaga kajian dan rekomendasi.
Orang bisa bikin aturan bermiliar-miliar lembar, tapi moral dan nurani penegak hukum adalah yang utama. Sejauh mana integritas mereka untuk menegakkan prinsip keadilan, diukur dari situ. Bukan hanya dari jago teknis hukum dan tafsirannya. Apalagi cuma lihat dari gelar pendidikannya.
Celakanya, masalah pokok Indonesia adalah di moral dan nurani itu! Apalagi jika berhadapan dengan uang segunung.
Untuk perkara Kartu Prakerja ini, sepatutnya KPPU menangkap suasana batin masyarakat yang menginginkan keadilan.
Negara lagi susah dan berantakan begini. Defisit APBN mencapai Rp852,9 triliun, yang akan ditutup dengan utang.
Banyak orang miskin baru karena korona. PHK di mana-mana. Pengangguran bertambah banyak.
Solusi dengan jalan membeli video pelatihan Rp5,6 triliun adalah konyol.
Mengapa konyol?
Sebab sekelas Menteri Keuangan pun tidak bisa menangkap dan menerapkan apa yang sering dituturkannya sendiri soal VALUE FOR MONEY.
Kita tidak bisa berharap banyak dari Menteri Keuangan yang ternyata abai nilai guna yang diperoleh dari setiap jumlah uang yang dibelanjakan. Padahal nilai guna itulah salah satu dasar untuk melakukan monitoring dan evaluasi program.
Membeli video pelatihan Rp5,6 triliun sama sekali kosong value for money-nya. Silakan Anda bantah ini.
Saya berharap kekhawatiran terhadap KPPU itu adalah khayalan belaka. Tidak akan terjadi.
Minimal sekali dalam hidup, orang harus memegang teguh sebuah prinsip.
KPPU harus buktikan itu.
Salam 5,6 Triliun.
(By Agustinus Edy Kristianto)
Pada status persis sebelum ini, saya memang angkat topi untuk KPPU yang menyoroti adanya potensi pelanggaran hukum...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Senin, 11 Mei 2020