CORONA MENAKLUKKAN ISTANA
Perang dunia melawan covid-19 sudah dimulai sejak Januari. Beberapa negara pimpinan Cina segera memasuki medan perang. Pada bulan itu, pakar Universitas Indonesia menyatakan pasukan corona telah memasuki Indonesia. Dan istana tahu, tapi mengabaikannya. Malah, secara bodoh dan jahat ingin memanfaatkan perang corona untuk menarik keuntungan.
Indonesia baru ikut bergabung dengan dunia dalam perang setelah ada warga yang tewas dibunuh corona pada awal Maret dan istana menyadari tak ada yang bisa dimanfaatkan dari perang mengerikan ini.
Kendati demikian, istana tak punya strategi jitu untuk menghadapi tentara tak terlihat ini. Ketika tokoh dan publik menawarkan solusi lockdown, istana tak menggubris. Masalahnya, solusi yang ditawarkan terlalu mahal, menggerus logistik istana. Padahal, istana ingin berperang dengan biaya sekecil mungkin, meskipun untuk itu banyak tentara yang harus dikorbankan.
Maka masuklah Indonesia ke medan perang tanpa strategi dan taktik yang diperhitungkan matang serta dengan persenjataan yang apa adanya. Perang pun berlangsung lama dengan korban makin besar tanpa kita tahu kapan akan berakhir. Logistik istana pun anjlok secara signifikan. Sementara kepercayaan rakyat kepada istana terkait penanganan perang melawan corona menurun. Ini karena kebijakan perang simpang-siur, serampangan, berubah-ubah, dan tidak efektif.
Seharusnya istana mendengar ahli perang corona karena merekalah yang paling tahu sifat-sifat tentara corona dan cara-cara yang efektif untuk menghadapinya. Masalahnya, ini model perang yang benar-benar baru sehingga cara menghadapinya pun berbeda dengan perang konvensional.
Seperti dikatakan Presiden Uganda Yoweri Kaguta Museveni: ini perang tanpa senjata dan peluru, tanpa tentara manusia, tanpa batas. Juga tanpa perjanjian gencatan senjata. Perang tanpa medan tempur, dan tanpa melihat tempat suci. Tentara corona adalah tentara tanpa belas kasihan.
Cara menghadapinya sebenarnya sederhana: jaga kebersihan, pakai masker, dan menerapkan secara ketat dan disiplin physical dan social distancing. Sayang, yang sederhana ini pun tidak mampu dilakukan istana. Setelah menunda lebih dari dua bulan, istana menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tapi jutaan orang sudah mudik.
Sekali lagi sayang, PSBB yang tidak ketat itu pun direlaksasi juga. Seluruh moda transportasi dioperasikan kembali. Setelah dilarang sebentar, mudik terbatas diizinkan kembali. Ini dengan sendirinya membuat pertahanan longgar yang memudahkan tentara corona menyerbu dengan kekuatan penuh sampai ke pelosok-pelosok negeri.
Ketika orang bertanya-tanya tentang apa yang dimaui istana dengan kebijakan pelonggaran PSBB, tiba-tiba Jae mengatakan kita harus berdamai dengan tentara corona. Artinya, istana telah ditaklukkan corona. Pengangkatan bendera putih oleh Jae menunjukkan istana menganggap corona tak dapat dikalahkan.
Tapi rakyat tak bisa terima jiwa pecundang istana itu. Masalahnya, satu demi satu negara di dunia sedang memproklamirkan kemenangan atas wabah itu. Dan kemenangan mereka diperoleh secara sederhana: menerapkan lockdown. Memang kemenangan itu diperoleh dengan ongkos ekonomi yang cukup besar -- hal yang dijauhi istana -- tapi sekarang sebagian besar tentara corona telah disingkirkan dan roda ekonomi sudah dapat diputar kembali. Seandainya sejak awal istana mengikuti strategi mereka, Indonesia pun kini sudah dapat bernapas lega.
Justru dengan sikap setengah hati dalam memasuki perang, kita harus memikul dampak yang lebih besar yang bisa jadi berujung pada pemakzulan istana -- hal yang sejak awal ditakuti rezim -- akibat keteledoran sendiri mengelola perang. Dan kalau ternyata menyerahnya istana akan diikuti oleh kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok) atau membiarkan 70 persen rakyat terpapar corona untuk memutus mata rantai penyebaran secara alami -- dengan resiko minimal 2,5 juta warga mati sia-sia -- itu akan lebih mempercepat kejatuhan rezim Jae yang memang sejak awal memerintah negeri ini sudah menunjukkan inkompetensi, tidak jujur, korup, dan mengkhianati amanat penderitaan rakyat.
Penulis: Smith Alhadar
(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education)
Editor: Abdurrahman Syebubakar