[PORTAL-ISLAM.ID] Kejatuhan harga minyak dunia dari USD 60 menjadi USD 20 per Barrel, sebagai imbas Pandemi Covid-19 membuat sejumlah negara melakukan penyesuaian dengan menurunkan harga BBM dalam negerinya masing-masing.
Namun hingga saat ini, harga BBM di Indonesia masih bertahan pada harga lama. Bahkan, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum menurunkan harga BBM.
Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai BUMN Pertamina dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Minyak & Gas Bumi berpotensi kuat melanggar Keputusan Menteri ESDM Nomor 62 Tahun 2020 dan Pasal 5 Undang Undang Anti Monopoli.
“Suka tidak suka, harga BBM harus turun, karena belinya juga turun dan perusahaan hanya diperbolehkan mengambil untung maksimal 10 persen. Kalau ternyata pada praktiknya lebih dari itu, maka ada kelompok tertentu yang diuntungkan. Saya menduga, dugaan loh ya, tapi dugaan kuat, ada permainan mafia migas, konspirasi dan skandal, baik di Pemerintah, BUMN Pertamina maupun pelaku usaha swasta di sektor migas. Itu sebabnya harga BBM di Indonesia masih mencekik leher rakyat, tak kunjung turun. Padahal negara lain sudah menurunkan harga BBM hingga berkali-kali,” ujar R Haidar Alwi.
Jika mengacu pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 62 Tahun 2020, yang mana harga BBM saat ini dipengaruhi oleh data dua bulan sebelumnya, maka harga sampai dengan April masih masuk akal karena harga minyak dunia masih berkisar antara USD 50 sampai USD 60 per Barrel.
Akan tetapi sejak awal Mei, Pemerintah dan Swasta seharusnya sudah menurunkan harga BBM karena harga minyak dunia dua bulan sebelumnya berada pada kisaran USD 30 per Barrel. Apalagi harga April hanya berkisar pada angka USD 20 per Barrel yang akan mempengaruhi harga BBM Juli nanti.
“Jadi kalau sekarang harga minyak dunia sudah turun jauh dan ditambah 10% marginnya, maka harga BBM untuk bulan Mei seharusnya Rp 7.000-an per Liter, dan harga bulan Juni Rp 5,5 ribu per Liter. Tapi faktanya harga BBM jenis Pertamax Turbo masih Rp 9.850 per Liter. Kemungkinan mafia migas tadi, bermain di impor bisa juga di acuan MOPS (Mean of Platts Singapore) dan konstanta pembentuk formula harga BBM. Nah, ini yang harus diselidiki oleh aparat penegak hukum,” tutur R Haidar Alwi.
Ia pun mempertanyakan peran Ahok yang pada awal penunjukannya sebagai Komisaris Utama Pertamina diharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mampu melibas mafia migas. Bahkan, Ahok dengan sesumbar optimis membawa Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia.
“Ketika Ahok ditunjuk jadi Komut Pertamina, pendukungnya ramai-ramai teriak Ahok is Back. Pertamina kasih diskon BBM buat ojol, Ahok tampil di panggung paling depan dan pendukungnya mengklaim sebagai kehebatan Ahok. Sekarang dia kemana? Padahal Pak Jokowi mengharapkan Ahok dapat mengawasi Pertamina karena sektor migas dari dulu banyak mafianya. Ternyata ganyang mafia migas hanya omong kosong. Nggak kuat juga, tenggelam juga di lahan basah,” kata R Haidar Alwi.
“Menteri BUMN Erick Thohir yang tunjuk Ahok jadi Komut Pertamina, mana bentuk pertanggungjawabannya? Terlepas dari Ahok sahabat Pak Jokowi. Jika pernyataan-pernyataan sebelum pelantikan bukan hanya harapan kosong, buktikan dong. Sekarang saatnya berbuat sesuatu untuk rakyat. Kalau pun penurunan harga BBM tidak berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat, setidaknya bisa sedikit meringankan beban rakyat di tengah Pandemi Covid-19,” pungkas R Haidar Alwi. [TC]