[PORTAL-ISLAM.ID] Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly angkat bicara perihal banyaknya kritikan yang ditujukan padanya, karena membebaskan narapidana di tengah pandemic virus korona baru (Covid-19). Yasonna menegaskan, hanya orang yang tumpul rasa kemanusiaannya, yang tidak mau membebaskan narapidana dari lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan kondisi kelebihan kapasitas di tengah pandemi COVID-19.
“Saya mengatakan hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak menghayati sila kedua Pancasila yang tidak menerima pembebasan napi di lapas ‘over’ kapasitas,” kata Yasonna melalui pesan singkat di Jakarta, Minggu (5/4), seperti dikutip dari ANTARA.
Menurut Yasonna, kritik yang dialamatkan padanya tersebut lebih banyak berimajinasi dan memprovokasi.
“Yang tidak enak itu, ada yang tanpa fakta, tanpa data, langsung berimajinasi, memprovokasi, dan berhalusinasi membuat komentar di media sosial,” tambah Yasonna.
Padahal menurut politikus PDIP tersebut, pembebasan narapidana di tengah wabah korona, sesuai anjuran Komisi Tinggi PBB untuk HAM, dan sub-komite PBB Anti Penyiksaan. Hal ini pun telah direspons negara-negara di dunia.
Sebagai contoh, Iran membebaskan 95 ribu orang termasuk mengampuni 10 ribu tahanan dan Brazil membebaskan 34 ribu narapidana. “Sekedar untuk tahu kondisi lapas penghuni laki-laki dan penghuni perempuan, ‘it’s against humanity’,” tegas Yasonna.
Yasonna menjelaskan, terkait kebijakannya membaskan narapidana, dirinya sudah menandatangani Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi, dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 pada 30 Maret 2020. Hal itu diperuntukkan bagi 30 ribu narapidana dan anak. Selain untuk mengantisipasi wabah korona, hal ini menurutnya juga dapat menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan hingga Rp 260 miliar.
Sebelumnya sejumlah pihak mengkritik keras kebijakan Menkumham Yasonna Laoly yang membebaskan narapidana di tengah wabah korona. Salah satu pihak yang memprotes kebijakan tersebut yakni Indonesia Corruption Watch (ICW). Ini karena Yasonna mengusulkan agar napi kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa tahanannya dapat dibebaskan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Menurut data ICW, jumlah narapidana korupsi juga tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya. Data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi.
Artinya narapidana korupsi hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan.
Yasonna sendiri sudah membantah hal tersebut dengan menyatakan napi pidana khusus juga dipertimbangkan dikeluarkan dari lapas/rutan, Permenkumham 10/2020 dan Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tidak boleh menabrak peraturan PP 99/2012.
Narapidana kasus narkotika masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani dua per tiga masa pidananya sekitar 15.482. Narapidana tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas, yang telah menjalani pidana dua per tiga masa pidana sebanyak 300 orang.
Untuk narapidana kasus narkotika hanya yang masa tahanan 5-10 tahun sehingga bandar narkoba yang umumnya dihukum di atas 10 tahun tidak termasuk yang menerima pembebasan.
Sedangkan narapidana kasus korupsi yang berumur di atas 60 tahun dan sudah menjalani dua per tiga masa tahanan berdasar pertimbangan imun tubuh lemah. Revisi PP 99/2012 itu pun dikatakannya baru usulan dan belum dilakukan pembahasan. [JawaPos]