[PORTAL-ISLAM.ID] Indonesia menjadi sorotan dunia dalam penanganan virus corona. Semua hampir sepakat, cara Indonesia menghadapi pandemik Covid-19 begitu buruk.
Kantor berita ABC memandang sikap Indonesia yang sejak awal nampak meremehkan wabah ini.
Hingga awal Maret, pemerintah mengklaim tidak memiliki kasus infeksi, menurut ABC.
Sementara pernyataan-pernyataan unik terdengar dari para pemimpin negeri. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, misalnya, di saat semua orang mulai cemas dia malah meminta masyarakat tetap tenang dan jangan panik serta perbanyak doa.
Menteri Dalam Negeri pernah mengimbau masyarakat agar lebih banyak makan tauge dan brokoli, dan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyarankan untuk mengkonsumsi jamu dan mempromosikan khasiatnya.
Terawan sempat meremehkan pernyataan para peneliti Universitas Harvard yang mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki kasus yang tidak dilaporkan. Malahan, baru-baru ini, menteri lain masih berargumen bahwa virus tidak dapat bertahan hidup di iklim tropis.
Jokowi sendiri nampaknya lebih khawatir tentang ancaman virus terhadap perdagangan, investasi, dan pariwisata.
Ketika banyak negara memberlakukan pembatasan perjalanan sebagai pencegahan penyebaran, Jokowi bersama jajaran kementerian pariwisata malah mempromosikan pemberian diskon hingga 30 persen bagi wisatawan.
Pada 2 Maret, barulah Indonesia mengakui adanya temuan kasus Covid-19.
Jokowi kemudian mengakui sikapnya tersebut untuk menghindar kepanikan warga.
Tindakan pun mulai dilakukan. Pemerintah melarang pertemuan massa, memberlakukan apa yang disebut "pembatasan sosial berskala besar" dan melarang orang asing memasuki Indonesia.
Pemerintah Indonesia juga mengumumkan membebaskan 30.000 tahanan dan menganggarkan 40 miliar dolar Amerika untuk kebutuhan medis, dukungan sosial dan bantuan untuk usaha kecil dan menengah
Minggu lalu, Jokowi mengeluarkan gagasan tentang darurat sipil sebagai opsi dalam penanganan virus corona.
Kantor berita ABC memandang bisa menebak kemana arah pikiran Jokowi dan sedang mencoba mengumpulkan fakta.
Indonesia telah mencatat lebih dari 2.400 infeksi dan 209 kematian, dari jumlah 11.500 tes, sampel kecil di negara dengan penduduk hampir 270 juta.
Ada indikasi banyak kasus dan kematian yang tidak terdeteksi, menurut kantor berita ABC.
Reuters telah memeriksa data dari Departemen Taman dan Pemakaman Jakarta dan menemukan 4.400 penguburan dilakukan di provinsi itu pada bulan Maret, meningkat 40 persen di atas tingkat normal, klaim ABC.
Tetapi bahkan oleh angka resmi konservatif, angka kematian 9 persen adalah salah satu yang tertinggi di dunia, meskipun ini bisa jadi karena pengujian yang tidak mencukupi.
Para ilmuwan di Universitas Indonesia telah meramalkan bahwa jika langkah-langkah yang lebih tegas tidak segera dimulai, situasinya dapat berputar di luar kendali, kemungkinan Indonesia bisa memiliki angka 240.000 kematian pada akhir April.
Hingga saat ini belum ada tindakan preventif, pengobatan yang tepat dan tindakan isolasi sosial yang fektif.
Pemerintah berusaha keras untuk mempersiapkan sistem kesehatannya, tetapi ini sepertinya tugas yang mustahil.
ABC mencermati jumlah tim medis yang disiapkan dalam penanganan virus corona ini. Menurutnya, Indonesia hanya memiliki empat dokter dan 12 tempat tidur rumah sakit per 1.000 orang, dan kurang dari tiga tempat tidur perawatan intensif per 100.000 orang.
Level-level ini jauh di bawah Organisasi Kesehatan Dunia atau standar Asia-Pasifik.
Rumah sakit spesialis Covid-19 telah dibuka di Wisma Atlet Jakarta dan di kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang.
Kantor berita ABC mengkritik kurangnya pasokan alat pelindung diri (APD) yang kemudian menjadi daftar lemahnya penanganan.
"Tidak ada peralatan perlindungan yang serius bagi petugas kesehatan," klaim ABC.
Sedikitnya 24 dokter meninggal karena virus corona.
Mengenai isolasi sosial, ABC memandang akan sangat sulit diterapkan pada negara berpenduduk padat. Dengan 70 persen dari tenaga kerja pada sektor informal dan banyak dari mereka hidup pas-pasan, penerapan isolasi ini malah menimbulkan masalah besar.
Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, jutaan orang telah bersiap untuk mudik, sebuah tradisi yang tidak bisa dilepaskan terutama menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Di tengah aturan menjaga jarak aman, tradisi mudik akan membenturkan penerapan itu.
Jokowi sebenarnya memahami bahaya mudik, tetapi tampaknya enggan untuk mengambil tindakan keras untuk mencegahnya.
Anies Baswedan, gubernur terkemuka Jakarta, telah mengkritik penanganan krisis oleh Jokowi, menyerukan langkah-langkah yang lebih keras untuk mengurangi penyebaran virus.
Tetapi Jokowi tampaknya telah menempatkan kembali pertimbangan ekonomi di atas kesehatan publik, sebagai gantinya memilih "pembatasan sosial berskala besar" daripada karantina atau melarang mudik secara langsung.
Kini, Jokowi kini telah melibatkan kepolisian, angkatan bersenjata, dan badan intelijen nasional untuk membantu mengelola krisis. Hal ini jelas mempelihatkan bagaimana kerja pemerintahan Jokowi.
Jokowi mulai limbung menyadari bahaya pandemik ini, tetapi orang-orang di sekelilingnya malah mengurusi pihak-pihak yang mengkritik dan menghinanya, bukannya ambil bagian dalam penanganan wabah.
Pemerintah Indonesia sangat kacau dalam hal ini. Kekacauan yang justru diciptakan dari dalam pemerintahannya sendiri, tulis Kantor Berita ABC.
Dan rakyatlah yang akan membayar mahal untuk itu semua.
Sumber: RMOL