Sejak belasan tahun lalu, saya tidak pernah paham logika ini:
Ada pejabat, levelnya Menteri, malah lebih tinggi dari itu, kemudian dia bilang: "Ada mafia di impor A". "Ada mafia di impor B", ada mafia ini, mafia itu.
Apa yang saya tidak paham?
Aduh, elu itu Menteri, dan ngeluh di depan publik, ada mafia. Kenapa nggak elu habisin saja. Sudah tahu ada mafia, sikat. Katanya datanya sudah dikantongi. Wah, Sikat Bro, Sis. Dan pastikan benar2 habis ke akar2nya. Bukan malah, untuk esoknya lagi2 ngomong, "Ada mafia ini, itu."
Level pejabat macam kalian itu bukan untuk berkeluh-kesah. Kalian punya sumber daya-nya, punya kuasa. Nah, yang berhak berkeluh-kesah itu rakyat jelata, wong cilik. Macam saya, penulis kelas receh, wajar kalau saya ngoceh. Lah, dia tidak punya kuasa apapun. Paling hanya ngoceh saja bisanya. Kop surat kalian itu digunakan buat memerintah ini, memerintah itu. KOP surat kalian itu digunakanlah menghabisi mafia, bukan mengurus bisnis personal. Jabatan kalian itu digunakanlah untuk menghabisi mafia. Sikat semua.
Catat baik2, jabatan itu kalian yang pengin toh? Rebutan malah. Cengar-cengir bergaya mau. Kalian yang mau kok ngeluh. Kalau nggak mau atau nggak mampu, mending berhenti, ganti sama yang berkompeten. Berhenti jadi pejabat, mari jadi penulis kayak saya. Bayar pajak. Lapor SPT. Bebas ngoceh.
Sungguh kasus ini mirip dengan sebuah proses pengadilan korupsi. Saya teringat-ingat momen itu.
Alkisah, pejabat2 ini dihadirkan dalam sidang. Ditanya, "Kamu tahu ada suap?" Dia jawab, "Iya, saya tahu, Yang Mulia." "Kok kamu nggak cegah?". Mingkem. Lucu sekali loh ini, jika pejabat tinggi di negeri ini tdk mampu mencegah korupsi, tidak mampu menghabisi mafia, lantas siapa yang bisa?
Sudah tahu ada koruptor, sudah tahu ada mafia. Habisi, bro, sis. Kongkrit. Kayak dulu ada menteri yang gagah berani menenggelamkan ratusan kapal. Berani dia. Meski kemudian tersingkir tidak lagi jadi menteri. Entah kenapa menteri yg kongkrit ini tersingkir, padahal dia tdk ngeluh soal pencuri ikan, dia kongkrit menenggelamkan kapal2 itu.
Ehem, atau jangan2, nampaknya diam-diam kita memang lebih suka memelihara pencuri2 itu. Memelihara mafia2 itu. Memelihara koruptor di sekitar kita. Untuk kemudian, bicara di depan wartawan, memasang wajah penuh gaya, "Ini semua salah mafia. Mereka jahat sekali. Ini semua salah MAFIAAAA"...
Lantas alay2 politik, buzzer2, bersorak, HEBAAATT pejabat kita! Lupa alay2 ini, jika drama soal mafia ini sudah masuk season 100. Dan tetap saja mafia ngocehnya.
Receh.
By Tere Liye
[fb-18/04/2020]