[MENJAWAB TUDUHAN Rudi S Kamri]
Dia menyebut Anies pernah menyampaikan angka kemiskinan DKI Jakarta (BPS 2019) adalah 3,42% total warga (atau sebanyak 359.100 orang saja). Lalu dia pertanyakan mengapa kepada Wapres, Anies menyampaikan angka 3,7 juta warga miskin yang harus dibantu. Tak hanya berhenti di situ, ia lalu menuduh Anies berbohong.
Mari kita bahas.
Ini berita Kompas terkait pembicaraan Anies dengan Wapres Ma'ruf Amin:
(1) JADI... data yang disampaikan Anies kepada Wapres untuk bantuan corona meliputi 2 kategori warga: MISKIN dan RENTAN MISKIN.
Apa itu RENTAN MISKIN?
Mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan miskin antara lain pengemudi ojek atau para pedagang kaki lima (PKL) yang memiliki pendapatan tetapi langsung kehilangan pendapatan saat ekonomi terjadi kontraksi akibat corona seperti saat ini. Ditambah lagi, tidak semua warga yang berada di kelompok rentan miskin ber-KTP DKI.
Pemprov DKI, kata dia, sedang melakukan pendataan untuk warga-warga rentan miskin tersebut supaya bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Jumlahnya sekitar 2,6 juta warga yang masuk kategori rentan miskin.
"Jadi nilai tepatnya, targetnya 2,6 juta orang, bansosnya Rp 880.000 diberikan selama 2 bulan. April-Mei sehingga nilai totalnya Rp 4,576 triliun," kata Anies.
Sedangkan warga yang masuk kategori miskin untuk bantuan corona ini ada 1,1 juta jiwa.
"Kalau masyarakat miskin di Jakarta ada 1,1 juta, mereka sudah teridentifikasi by name by address karena selama ini dapat bantuan dari kami. Tapi kelompok rentan miskin, ini adalah kelompok yang tidak dapat bantuan langsung," kata Anies.
(2) STANDAR MISKIN BPS
Kalau hanya melihat angka BPS memang kita akan melihat ada gap, data penduduk miskin DKI menurut BPS sebanyak 359.100 orang, sekarang untuk bantuan corona menjadi 1,1 juta jiwa. (Sekali lagi bukan angka 3,7 juta orang. Karena dari 3,7 juta jiwa itu, 2,6 juta kategori RENTAN MISKIN).
Perlu dipahami, bahwa angka miskin statistik bukanlah realita sesungguhnya. Terutama jika menyangkut angka kemiskinan di Indonesia. Data statistik saja tak bisa dijadikan sebagai patokan jumlah bantuan.
Pertama, standar kemiskinan menurut BPS itu teramat sangat rendah. Untuk September 2019, seseorang baru akan disebut miskin jika ia berpenghasilan Rp 440.538 per bulan. Atau Rp 14.684 per hari!
Artinya orang yang berpenghasilan Rp 14.700 sehari sekalipun TIDAK masuk kategori miskin menurut data BPS. Apalagi jika kamu berpenghasilan Rp 20.000 sehari. Jauh. Sama sekali tidak masuk kategori miskin BPS. Padahal dapat apa kamu jika berpenghasilan hanya Rp 20.000 sehari?
Standar kemiskinan BPS itu ditetapkan sendiri oleh Indonesia. Berbeda dari ketetapan Bank Dunia yang Rp 1.9 Dollar Amerika sehari. Kalau 1 USD = Rp 16.000, maka orang di dunia ini akan disebut miskin oleh Bank Dunia jika ia berpenghasilan Rp 30.400. Berbeda kan? Rp 14.684 vs Rp 30.400. Iya standar kemiskinan kita di Indonesia masih lebih rendah dari standar internasional. Artinya jika standar Bank Dunia diterapkan maka jumlah orang miskin di Indonesia juga akan jauh lebih besar.
Sampai di sini kita tahu ya bahwa standar kemiskinan BPS memang teramat rendah. Jika ini mau dijadikan sebagai acuan dana bantuan sosial, tidak realistis.
Akan terlalu pelit, terlalu tak peduli, terlalu kejam -- jika pemerintah menggunakan angka kemiskinan versi BPS sebagai acuan dana bantuan sosial. Sebab pada kenyataan sesungguhnya orang yang berpenghasilan Rp 20.000 sehari saja sudah akan megap-megap kepayahan.
Itulah kenapa selama ini DKI JAKARTA dalam memberikan bantuan untuk warga kategori MISKIN sebanyak 1,1 juta jiwa. Lebih tinggi dari angka BPS.
"Kalau masyarakat miskin di Jakarta ada 1,1 juta, mereka sudah teridentifikasi by name by address karena selama ini dapat bantuan dari kami. Tapi kelompok rentan miskin, ini adalah kelompok yang tidak dapat bantuan langsung," kata Anies.
Itulah mengapa Anies menyodorkan angka 3,7 juta jiwa untuk bantuan corona. Ada perhitungannya mengapa naik begitu banyak. Sebab Gubernur memang harus memikirkan itu. Melindungi mereka. Mengulurkan tangan. Membantu setiap warganya yang jatuh dalam jurang kemiskinan.
Itulah juga alasannya. Mengapa hari-hari ini Pemprov DKI Jakarta giat bersosialisi, agar barang siapa pekerja kehilangan pekerjaannya untuk mendaftar ke Dinas Tenaga Kerja Pemprov DKI Jakarta. Para RT juga mulai mendata siapa yang masuk kategori miskin. Pemerintah membutuhkan data riel tentang orang-orang yang harus dibantu. Bukan hanya sekedar mengandalkan data BPS.
Gubernur Jakarta lebih awal antisipasi ini semua. Melakukan pendataan. Agar bantuan tak diberikan terlambat!
Tidak ada yang melakukan kebohongan publik. Apa yang dilakukan Anies akan dilakukan pemimpin manapun. Yang tidak bebal. Setiap Kepala Daerah bahkan presiden Jokowi sekalipun, tak akan mengacu pada data BPS untuk memberikan bantuan sosial dampak Korona. Silakan cek, cari berita atau datanya. Sebab data kemiskinan BPS saja tak bisa dijadikan acuan untuk menyalurkan bantuan sosial dampak wabah Korona.
Kalau yang dikhawatirkan adalah soal kemungkinan bocor. Akan selalu ada pengawasan dalam pelaksanaan diatribusi bantuan itu. Akan ada bukti-buktinya. Akan ada pengawasan melekat dari Inspektorat. Akan ada audit juga dari BPK setelah program berjalan, yang setiap tahun dilakukan. Ini pemerintahan Bung. Yang tata cara perencanaan, penganggaran, maupun belanjanya dipagari dengan berbagai aturan ketat.
Analisa bahwa Anies berbohong soal data kemiskinan itu sungguh menggelikan. Tulisan itu hanya menunjukkan kebodohan atau kekejian jiwa penulisnya. Eh tapi kok ya ada yang percaya dan memakai argumen itu untuk menyerang Anies?
Ya sudahlah cukup kita pahami saja. Kalau utek sih bisa di-upgrade. Tapi kalau watak sulit diubah. Jangan ditiru.
By Tatak Ujiyati
(Anggota TGUPP DKI Jakarta)