KITA PRIHATIN PADA OJOL, TETAPI BUKAN MEREKA SAJA YANG SUSAH, KAN?
Dengan segala hormat, izinkan saya menyampaikan keprihatinan ini. Di tengah musibah pandemi ini, kita prihatin kepada para ojol yang penghasilannya berkurang drastis. Tetapi, sebenarnya bukan mereka saja yang susah, bukan? Boleh jadi, ada yang lebih menderita dan memprihatinkan dibanding mereka.
Saya ingat para pedagang kecil yang mangkal di sekolah-sekolah, ibu-ibu kantin yang tergantung pada uang jajan anak-anak SD atau SMP, sopir angkot yang berharap ‘jackpot’ di jam masuk dan pulang sekolah. Apa kabar mereka hari ini? Apakah mereka mendapatkan perhatian yang sama besarnya dari pemerintah?
Kemudian para guru honorer yang dibayar per jam mengajar, pendamping PAUD yang tak lagi mendapatkan penghasilan harian karena sekolah diliburkan, bagaimana nasib mereka sekarang? Adakah yang memperhatikan mereka? Mengapa kita tak mendengar pernyataan publik dari Menteri Pendidikan, mantan CEO Go-Jek itu, memberikan perhatian khusus kepada para pejuang pendidikan?
Kita senang presiden memberikan perhatian khusus kepada para ojol, diikuti para pejabat dari ketua MPR hingga komisaris BUMN, dan berbagai elemen masyarakat yang juga ikut menggerakkan solidaritas untuk memberikan bantuan.
Ada relaksasi kredit yang sedang berusaha direalisasikan, ada sembako yang bahkan dibagikan langsung oleh presiden di pinggir jalan, dan terakhir diskon BBM hingga 50% dari Pertamina. Mereka memang harus dibantu, kita sepakat itu.
Namun, tentu bukan mereka saja. Ada banyak profesi rentan lainnya yang juga merasakan kesulitan yang sama, bahkan mungkin lebih berat lagi. Aneka bantuan dan keringanan, segala perhatian dan empati, juga perlu kita berikan kepada pedagang-pedagang kecil, buruh lepas harian, orang-orang kecil yang mengandalkan penghasilan dari mobilitas dan kerumunan orang.
Para pemandu di aneka destinasi wisata, tukang foto keliling di pusat-pusat rekreasi rakyat, pedagang kaki lima di terminal bus antarkota, pengayuh becak di pasar-pasar lama. Mengapa mereka jarang disebut di koran atau televisi sebagai pihak yang juga terpukul hebat karena pandemi ini? Mengapa profesi mereka tak disebut di aneka pidato pejabat yang menyampaikan keprihatinan?
Tetapi mereka tak pernah marah. Mereka tak membuat video mengancam akan berbuat rusuh karena periuk nasinya kosong. Masalahnya, mereka tak berseragam saja. Mungkin tak punya perkumpulan. Tak ada korporasi yang menaungi mereka. Tak dekat dengan kelas menengah-atas yang biasa menggunakan jasa atau membeli produk mereka.
Driver ojol adalah mitra sebuah korporasi. Selain pemerintah yang memberikan perhatian, rasanya perusahaan yang membawahi mereka lebih wajib menjamin kesejahteraan dasar dan ‘survival’ para mitra ini, bukan?
Di masa sulit seperti ini, bukankah bisa perusahaan yang membawahi mereka memberikan 100% tarif untuk para ojol itu, tanpa dipotong untuk perusahaan? Bukankah selama ini, di luar masa pandemi, perusahaan sedah menghasilkan triliunan rupiah dari jerih payah para mitra ini?
Pemerintah tentu bisa membantu, tetapi harus adil kepada semua pihak. Perhatian yang sama perlu diberikan kepada seluruh elemen masyarakat yang terdampak wabah COVID-19 ini. Perhatian itu diwujudkan dalam ‘gestur’ dan sikap.
Para menteri terkait bisa mulai membuat pernyataan komitmen untuk mereka yang kesulitan: Menteri pendidikan untuk para guru honorer dan pendamping PAUD, misalnya, Menteri Perhubungan meng-address perhatian khusus buat para sopir angkutan umum, Menteri Pariwisata memperhatikan para ‘tour guide’, dan seterusnya.
Saya kira, inilah saatnya menempatkan hati dan empati di tengah krisis ini secara adil serta merata untuk semua pihak yang kesulitan. Ada 24,17 juta masyarakat miskin di Indonesia yang juga perlu mendapatkan perhatian. Sudahkah Menteri Kelautan bersuara soal nasib para nelayan? Sudahkan menteri Koperasi dan UMKM berdiri paling depan membela para pengusaha kecil?
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak semua pihak untuk bergerak. Ayo kita bantu saudara-saudara kita yang lain yang sedang kesulitan. Kita perhatikan mereka. Saya juga mendorong para pejabat untuk bersuara: Dari presiden, menteri, hingga para kepala daerah.
Tentu saja, yang susah bukan hanya pengemudi ojol saja. Ada lebih banyak yang lainnya. Yang mungkin tak berhimpun di bawah korporasi, tak berseragam, tak dekat dengan kelas menengah-atas, tak punya hubungan kepentingan dengan pengusaha atau pejabat tertentu. Tetapi mereka juga rakyat Indonesia!
Tabik!
(Oleh Fahd Pahdepie)