JAE BIN OPUNG MENGHADANG WAN ABUD (Bagian I)
Di suatu negeri yang belum mapan, penuh luka, lahir seorang presiden yang kecil. Namanya Jae. Dia kecil dalam segala hal, termasuk perawakan, pikiran, dan sikapnya. Yang besar cuma janji palsunya. Prinsip yang dipegangnya, “yang penting janji bukan bukti!”. Daftar janji yang diingkarinya sangat panjang. Sampai sampai ada yang mengatakan janjinya 50, tapi yang diingkarinya 100.
Tidak sedikit pula orang yang mengatakan Jae hanyalah presiden jadi-jadian. Busana kepresidenannya kegedean. “The real president is Opung”. Dialah urat syaraf istana. Sebenarnya kalau visi dan misinya demi negara yang lebih baik ke depan, tak apalah diadopsi pemerintah. Faktanya, Opung menerjang sana-sini dengan pikiran pragmatis sempit untuk mencapai tujuan jangka pendek.
Memang Opung tak punya pandangan mata burung yang membuatnya arif dalam pengambilan keputusan. Opung lebih terkesan seperti bulldozer yang merobohkan apa saja yang menghalangi jalannya pemerintahan, tepatnya kepentingan Opung dan kelompoknya. Meskipun melanggar pilar-pilar negara dan bertabrakan dengan kepentingan rakyat banyak. Dia menganggap otaknya lebih besar dari gabungan seluruh otak penduduk. Tapi Jae sayang padanya. Lebih tepat, Jae takut padanya. Padahal, secara formal dia hanyalah seorang menteri, pesuruh presiden. Tapi begitulah hukum alam: yang punya pikiran, walaupun kecil, akan menguasai yang tidak punya pikiran sama sekali. Atau Opung pegang kartu Jae.
Dulu, dari istana, seringkali muncul gagasan cemerlang dan gebrakan besar dari para presiden yang rata-rata ganteng dan cerdas. Kecuali Mak Banteng tentunya. Maaf, memang agak beda dengan Jae. Mereka suka membaca buku atau belajar dengan tekun, hal yang tidak mampu dilakukan oleh Jae. Kalau membaca Jae suka ngantuk. Memang membaca buku bukan aktivitas mudah bagi orang yang masuk gorong-gorong atau memelihara kodok. Membaca buku menghabiskan energi karena mesin otak akan terus berputar. Tapi bagi yang suka membaca, buku memberikan keasyikan, hiburan, pencerahan, dan perluasan wawasan.
Prestasi dan sikap presiden-presiden terdahulu bergaung di dunia internasional. Meskipun kadang merasa ditindas atau dilupakan, masih ada rasa bangga rakyat pada mereka. Setidaknya, para pemimpin itu meninggalkan legacy berharga berupa pikiran dan karya monumental yang menjadi modal bagi langkah bangsa ke depan. Alhasil, meskipun sering juga mereka dikecewakan, diam-diam rakyat berterima kasih pada mereka. Tapi itu dulu.
Selama Jae menjadi presiden, tidak ada lagi gebrakan, apalagi gagasan besar, yang datang dari istana, seolah-olah negeri ini tidak punya presiden lagi. Padahal, yang bertakhta di sana adalah presiden yang populer, muda, yang dipilih rakyat dengan ekspektasi tinggi bahwa dia -- berasal dari rakyat kebanyakan -- akan melakukan hal-hal gemilang yang dijanjikan saat kampanye demi rakyat.
Kebetulan juga rakyat mulai bosan dengan presiden dari kalangan elite. Kali ini mereka mencoba mengangkat presiden yang wajahnya mirip mereka. Apalagi banyak beredar kabar burung bahwa Jae hebat saat jadi walikota dan gubernur. Sorak gempita pun menggema di seluruh negeri, bahkan di dunia internasional, saat Jae dinyatakan menang pilpres mengalahkan Bowo dari kalangan elite. Slogan Jae adalah kita ternyata benar. Pikiran dan perangainya persis seperti rakyat kebanyakan. Tidak seperti imaginasi rakyat tentang kharisma dan atribut-atribut yang sudah seharusnya melekat pada diri presiden. Ya Tuhan, dia benar-benar seperti orang awam, baik wajah, selera, ucapan, tindakan, maupun pikiran. Lalu, orang mulai berbisik-bisik: jangan-jangan kita salah pilih. Ada yang kemudian beristighfar telah memilih Jae.
Setelah dua tahun jadi presiden, belum juga muncul aksi Jae, yang menghentak jagat negeri lantaran kebaruan gagasan dan tindakannya. Yang terjadi justru Jae meneruskan kebiasaan-kebiasaan lama saat menjadi walikota dan gubernur: blusukan. Hampir tiap hari beliau memeriksa jembatan, bangunan, atau memasuki gorong-gorong. Awalnya rakyat senang. Presiden benar-benar dari rakyat untuk rakyat. Namun, lama-kelamaan rakyat jenuh. Blusukan kehilangan makna. Orang malah mulai berani mengatakan itu pencitraan. Yang sedikit lebih benar adalah Jae ingin terlihat sedang bekerja pada bidang yang bukan pekerjaannya. Toh, berleha-leha di istana membuat ngantuk karena fasilitas mewah yang membuai orang ada di sana.
Seiring waktu rakyat mulai lelah mengamati tingkah laku presiden yang rada aneh, lalu bertanya dalam hati: inikah pekerjaan presiden yang sesungguhnya? Apa guna bawahan-bawahannya? Setahu mereka, mestinya presiden duduk di istana, berpikir, bertemu para pemimpin dunia, memaparkan visi besar dan arahan yang harus dijalankan anak buahnya, serta menghabiskan malam-malamnya dengan merenungi cara-cara memperbaiki nasib rakyat.
Yang terjadi justru presiden sering kaget, salah menandatangani dokumen negara, membagi-bagi sepeda, main tebak-tebakan dengan anak-anak tentang nama-nama ikan, dan ogah berpidato di Majelis Umum PBB. Bahkan, sama sekali tak mau duduk bersama, bertukar pikiran, dengan pemimpin dunia di forum yang sangat penting itu. Beda jauh dengan presiden-presiden terdahulu yang mentereng di panggung dunia. Bahkan presiden yang pertama berani menghardik kekuatan-kekuatan dunia.
Karena Jae tidak begitu, orang berpendapat: Jae tak punya ide untuk ditawarkan kepada dunia. Boro-boro kepada dunia, kepada rakyat saja tidak ada. Kendati menyedihkan sikap presiden ini, pendukung fanatiknya terus saja menyanjungnya. Dan sanjungan ini dipelihara para influencer dan buzzer bayaran. Sampai-sampai mereka memproklamirkan bahwa Jae adalah titisan Tuhan. Tak peduli maklumat itu membuat jagat raya menangis tersedu-sedu. Mengapa kita makin hari makin dungu dan jumawa? Akal sehat rakyat dibunuh secara sistematis. Orang suka tak mengerti mengapa di era reformasi yang diperjuangkan mahasiswa dengan darah diambyarkan.
Penyebabnya, rakyat terlalu pandai, sering melebihi kapasitas presiden. Padahal tidak seharusnya mereka pandai, yang sering dipakai mengkritik presiden. Ini berbahaya bagi wibawa negara, kata Opung. Maka ia menerjang sana-sini, mengusir rakyat yang memprotes di depan istana, mengancam, dan membujuk para tokoh bangsa untuk patuh pada garis kebijakan negara. Soalnya, yang membuat kebijakan-kebijakan negara yang amburadul adalah Opung sendiri.
Maka negara berjalan tanpa dialektika dengan rakyat, tanpa adu argumentasi yang mencerahkan. Hanya kadang sekali, terdengar bising di istana, igauan-igauan tanpa makna, noise instead of voice. Rakyat pun mulai lelah. Puluhan janji Jae selama kampanye tak satu pun yang dipenuhi alias jauh panggang dari api. Kualitas hidup rakyat memburuk. Tatakelola negara amburadul, cita-cita reformasi 1998 dijungkirbalikkan. Biar begitu Jae masih tertawa cengengesan sehingga rakyat terpaksa mematikan televisi. Mereka sakit perut. Bukan karena kurang indah, tapi tertawa itu hanya menghadirkan kepahitan di tengah penderitaan rakyat.
Di suatu pagi yang cerah, tanpa hujan badai, tiba-tiba muncul gebrakan dari istana. Ada apa? Apakah ini kabar gembira yang sudah lama ditunggu rakyat? Ternyata bukan. Bukan beleid yang menegaskan komitmen pemerintah mengentaskan kemiskinan, menegakkan hukum, memantapkan demokrasi, dan menciptakan lapangan kerja yang sudah lama ditunggu-tunggu rakyat. Bukan itu ternyata.
Gebrakan itu justru menyedihkan. Orang terpelajar malah bingung: Wan Abud dipecat dari posisinya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Mengapa menteri cemerlang itu diganti? Apa salahnya?
Tidak ada yang tahu sampai hari ini. Yang jelas Wan Abud berkinerja baik, cerdas, dan tidak korupsi. Lalu apa? Wallahu'alam. Yang diyakini teguh oleh rakyat adalah karena Wan Abud tidak punya cangkokan di partai, ia tak punya basis dukungan. Inilah yang membuat Jae memecat Wan Abud, mungkin dengan nasihat Opung, untuk menambah dukungan politik recehan.
Bagaimanapun, rakyat sedih karena Wan Abud adalah figur kunci yang membawa Jae ke istana. Sebagai jubir tim kampanye Jae, ia meramu visi-misi presiden yang dibuat orang lain, menjadi pandangan yang terstruktur, terukur, dan indah untuk didengar. Ia juga sangat memahami konsep pendidikan berkualitas. Sebelum menjadi menteri, dia adalah pendiri gerakan Indonesia Mengajar yang berhasil mengentaskan literasi di kalangan anak bangsa yang tak punya akses ke pendidikan berkualitas atau bahkan tak punya akses ke pendidikan sama sekali.
Tapi yang mengejutkan bukan keputusan memecat Wan Abud, tapi sikap legowo Wan Abud menerima kezaliman atas dirinya. Ia menerima dengan lapang dada dan besar hati. Tidak ada keluhan dan caci maki terhadap Jae yang lupa kacang akan kulitnya. Dia tetap santun, jujur, bicara dengan hikmah, dan sama sekali tidak mengambinghitamkan siapa pun yang mungkin menjadi penyebab ia disingkirkan -- peristiwa yang mestinya melecehkan harga dirinya. Apalagi yang menggantikannya bukan orang yang berkeringat bagi kemenangan Jae atau lebih berkualitas dari dirinya.
Maka bermunculan spekulasi di warung kopi tentang sebab-sebabnya. Selain diduga karena Jae ingin dukungan dari salah satu ormas besar negeri ini, orang pun mencurigai ini adalah pekerjaan Opung untuk menyingkirkan Wan Abud untuk sekali dan selamanya dari panggung politik nasional. Wan Abud terlalu pintar dan berpotensi menjadi penantang berat Jae pada pilpres 2019 bila popularitasnya sebagai menteri tidak dihentikan. Ini menjadi ancaman bagi ambisi Opung menguasai negara selama mungkin, untuk mewujudkan agenda-agenda tetselubungnya. Kok bisa? Memangnya Opung siapa hingga bisa memecat Wan Abud?
Mengenai kemungkinan peran Opung dalam pemecatan Wan Abud kita tidak tahu persis. Tapi tidak mungkin the real president tidak tahu apa-apa dengan pemecatan itu. Tidak mungkin Jae mengambil keputusan tanpa sepengetahuan Opung.
Bukankah Opung adalah penentu segala keputusan presiden? Begitu besar kekuasaannya hingga orang membanding-bandingkan dengan Soeharto. Bedanya Soeharto bermain halus, saksama, terukur, dan efektif. Opung bermain kasar, serampangan, dan lebih banyak menciptakan kegaduhan nasional. Dia hobi bertindak sendirian, wara-wiri melakukan semua hal, dari urusan tetek bengek hingga mempertaruhkan nasib bangsa. sampai pada suatu hari...
(bersambung ke bagian II)
Jakarta, 17 April 2020
(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education)