[PORTAL-ISLAM.ID] Sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Jokowi tanggal 2 Maret lalu dengan dua pasien positif, hingga tanggal 10 April kemarin sudah ditemukan 3.512 pasien positif, 306 orang meninggal dan 282 sembuh. Dari satu kota dan satu provinsi, sekarang sudah menjadi puluhan kota dari 34 provinsi yang terjangkit Covid-19.
Hanya dalam rentang satu bulan, sudah 34 provinsi yang kena. Ada perdebatan dengan angka yang diumumkan pemerintah pusat dengan angka yang diumumkan pemerintah daerah. Para ahli menyebutkan angka sebenarnya jauh lebih besar dari angka yang diumumkan. Wallahualam.
Kenapa virus ini dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia? Ini tidak lain karena tidak adanya kebijakan mengunci wilayah (lockdown) pada daerah pandemi seperti Jakarta dan kota lainnya yang sudah terjangkit. Sehingga mereka dengan bebas ke luar dari daerah pandemi ke kota asal. Mereka yang pulang ini tidak sadar kalau mereka si pembawa bibit virus.
Seperti contoh dari kasus EAA, pasien positif Covid-19 asal Sibolga. Dia memposting keberangkatannya dari Jakarta untuk pulang ke kampungnya di Sibolga. Dia pulang dengan pesawat tanggal 18 Maret via Bandara Internasional Minangkabau. Dari BIM, dia naik mobil travel ke Sibolga. Dua minggu di Sibolga –masih dari postingan EAA- tanggal 2 April dia masuk rumah sakit dan dinyatakan positif Covid-19. Tanggal 4 April dia meninggal dalam perjalanan rujukan ke RS Adam Malik Medan.
Artinya di sini terlihat, seperti kata dokter Tifauzia Tyassuma, peniliti AHLINA Institute, saat ini pembawa covid-19, tidak lagi bisa berpatokan pada ciri-ciri yang sudah umum, panas tinggi, batuk, sakit tenggorokan. Si pembawan muncul dengan sebutan baru Orang Tanpa Gejala (OTG).
Inilah yang kita takutkan dengan OTG tersebut. Saat ini hampir di semua kota, kecuali Jabodetabek yang sudah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), aktifitas warga di luar masih tinggi. Di kota saya, Pekanbaru, kehidupan di luar rumah seperti tidak ada wabah covid-19 saja. Toko-toko, tempat makanan, pasar, PKL masih tetap buka. Lalu lintas masih juga ramai.
Dari data Gugus Tugas Covid-19 Riau, saat ini di Pekanbaru ada 1.739 ODP, 54 PDP, 6 Positif dan 5 orang meninggal dengan status PDP. Dengan mobilitas dan aktifitas yang masih tinggi itu, dan munculnya OTG, maka bersiaplah dengan ledakan Covid-19. Kondisi yang sama juga bakal terjadi di sejumlah kota yang belum menerapkan PSBB seperti di Jabodetabek.
Jika kondisi ini terjadi, maka keadaan darurat bencana Covid-19 ini bakal berlangsung lama.
Ledakan PHK Massal
Kementrian Tenaga Kerja merilis sejak mulai diberlakukannya Social Distancing, data sampai tanggal 9 April 2020, sudah 1,4 juta buruh yang di PHK atau dirumahkan. Perusahaan terpaksan melakukan PHK/Dirumahkan karena berhentinya/menurunnya produksi.
Tapi angka itu bakal jauh dari kenyataan. Pasalnya banyak perusahaan tidak melaporkan tindakan mereka merumahkan karyawan, dan tenaga outsourcing (tenaga kontrak). Bagi tenaga kontrak nasibny lebih miris lagi, yang habis kontrak langsung diputus alias PHK. Yang masih kontrak mereka mendapat status dirumahkan tanpa menerima gaji.
Banyak perusahan yang bergerak di bidang jasa, seperti hotel, restoran, penyelenggara ibadah umroh dan haji, katering makanan, event organizer, mereka yang bergerak di industri pariwisata sudah merumahkan atau mem phk tenaga kerja. Jumlahnya, kalau dihitung di seluruh Indonesia bisa puluhan juta orang.
Lalu dengan kondisi bencana covid-19 yang bisa saja berlangsung lama, ada ahli menyebut puncaknya bakal terjadi pada akhir Mei dan Juni, bisa dipastikan korban PHK bakal bertambah banyak. Mereka yang status karyawan yang dirumahkan, bisa jadi berubah jadi diberhentikan alias PHK.
Pengusaha besar juga sudah mulai angkat tangan. Mereka menyebut, cashflow perusahaan mereka hanya sanggup bertahan hingga bulan Juni. Artinya, jika status phisical distancing atau PSBB ini berlangsung hingga Juni, maka bersiaplah dengan pengangguran massal.
Ini semua terjadi karena Pemerintah Pusat tidak tegas untuk menangani penyebaran virus covid-19. Tidak ada protokol yang jelas untuk menghentikan penyebaran itu. Pusat menyerahkan kebijakan ke daerah. Daerah mau ambil kebijakan harus koordinasi dulu dengan pusat, seperti penerapan PSBB. Padahal PSBB ini dicanankan oleh Presiden Jokowi. Tapi untuk penerapan, daerah harus koordinasi dengan pusat, sementara korban terus berjatuhan, si pembawa virus sudah terbang kemana-mana.
Lalu pada masyarakat masih ada menganggap enteng dan menganggap virus covid-19 jadi bahan candaan. Mereka seperti menantang untuk tetap keluar rumah tanpa masker, tanpa ikut aturan sering cuci tangan, tidak menjaga jarak. Akibatnya, tanpa disadari, tanpa gejala (OTG) mereka ini sudah membawa bibit virus ke rumah, ke tempat lingkungannya dan menyebarkan virus ini.
Penulis: Denni Risman