AS vs China dan Bill Gates
Belum ada Pemimpin Negara Amerika Serikat yang setegas dan sedrastis Mr. Donald Trump dalam menghadapi China.
Selama ini konsentrasi utama AS adalah menghadapi Soviet dan memajukan kepentingannya menguasai bunker minyak dunia yaitu Timur Tengah.
Permainan suap, rayu, tipu dan curi China hampir tidak diperhatikan dan dipandang sebelah mata oleh Pemerintah dan publik AS.
Pemerintah AS mulai tersadar di masa Trump dengan meneliti faktanya, dengan mengabaikan China, ternyata AS sudah kehilangan uang US $ 250 – 600 Milyar per tahun dan sudah berlangsung bertahun tahun. Suatu jumlah yang cukup besar, bahkan bagi negara manapun di dunia.
Belum lagi pencurian kekayaan intelektual dan teknologi besar-besaran oleh China dari AS, yang kemudian dipalsu, diakui sebagai kekayaan intelektual China dan digunakan kembali China untuk melawan otoritas AS yang sah, baik perlawanan di dalam negeri AS sendiri maupun dalam bersaing dalam percaturan dunia internasional.
Sadar bahwa China tidak bisa lagi didiamkan sebagai parasit AS, maka Trump melakukan Perang Dagang langsung dengan menaikan tarif impor bea masuk dari 10 % menjadi 25 %.
Kenaikan bea masuk ini otomatis secara langsung akan menghambat ekspansi barang China di rak-rak toko AS. Konsumen AS tidak bisa lagi mendapatkan barang murah China.
Namun ini konsekwensi yang memang harus diambil, agar produsen AS bisa berkompetisi secara sehat dengan pesaingnya China. Bisa dimengerti, bagaimanapun AS harus mementingkan warganya sendiri tinimbang memberi makan orang China, yang bukan sekedar cari makan, tetapi menusuk dari belakang.
Demikian kira-kira pemikiran Trump dan para penasehatnya. Hasilnya memang tak disangkal terlihat nyata. Pertumbuhan ekonomi AS meningkat tertinggi selama 50 tahun terakhir.
Ekspor terbesar China hingga hari ini adalah tetap AS. Dan perang dagang ini langsung memukul ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China langsung turun. Keistimewaan yang tadinya diperoleh terancam hilang.
Lobby China yang bahkan suatu waktu di masa lalu pernah berhasil hingga tingkat AS-1 yaitu masa Presiden Bill Clinton sehingga mendapat keistimewaan keringanan pajak hingga 10% dan dukungan AS pada China untuk masuk sebagai anggota WTO sekarang pupus.
Dampak pengaruh kuat China di AS ini di masa lalu, telah berhasil isi pundi-pundi China, sehingga punya dana untuk membiayai ambisinya yang ekspansionis dalam rangka mnjadikan abad 21, Abad China.
Namun kini upaya China mendapat tentangan serius dari Trump. Perjanjian diadakan di atas meja perundingan dengan prinsip fairly dan jelas.
Mau ekspansi atau jual produk ke AS? boleh saja asalkan sesuai dengan ketentuan dan tuntutan AS khususnya tarif dan Hak Kekayaan Intelektual, juga diwajibkan bersedia sebagai imbal balik menerima produk AS tertentu, yang secara total AS harus surplus atau tidak sama sekali.
Perjanjian ini termasuk pula perjanjian strategis bidang tertentu yang menggunakan tehnologi AS.
Sebenarnya yang dilakukan oleh Trump ini justru sudah lama dilakukan China, namun karena kurangnya perhatian publik maka pola perdagangan dengan China yang harus surplus ke China ini tidak mendapat sorotan publik dunia.
Contoh sederhana adalah Perdagangan antara China Indonesia. Sudah 10 tahun berjalan, sejak dibukanya pintu perdagangan China ke Indonesia, yang terjadi China selalu surplus dan Indonesia selalu defisit. Namun lobby yang kuat melalui tangan-tangan mereka di Indonesia maka pola tidak imbang ini masih terus dipertahankan.
Jadi pola zero sum yang dilakukan Trump bukan suatu hal yang aneh China pun sudah lakukan itu jauh hari.
Sadar tak bisa lagi menggunakan permainan lama, maka China menggerakan semua sumber dayanya agar tetap bisa eksis di AS. Disamping melalui jaringan Guan Xi China di AS, China juga menggunakan pengusaha dan politisi lawan Trump untuk menekannya di dalam negeri AS sendiri.
Kebijakan Trump - dengan isitilahku Kapitalis Nasionalis, tentu berdampak pula pada para pengusaha AS yang tadinya terlanjur membuka hubungan dengan China, setelah negara Tirai Besi ini membuat kebijakan pintu terbuka untuk investasi asing th 2003.
Dan bukan tidak mungkin akibat terlena bisnis dengan China, kiprah pengusaha ini memungkinkan untuk membahayakan eksistensi AS sendiri.
Akhirnya pengusaha AS dihadapkan pada dua pilihan, kesetiaan pada negaranya atau uang yang dihasilkan dari kerjasama dengan lawan AS yaitu China. Pilihan ketiga sebenarnya ada, yaitu bekerjasama dengan perusahaan negara yang bukan lawan AS.
Namun pengalihan ini tentu tidak mudah. Jepang yang baru-baru ini mengalihkan semua industrinya dari China, karena dampak pandemic coronavirus dan memindahkannya ke negara lain, harus merogoh kocek dalam dalam hingga $2 milyar. Belum tentu semua pengusaha bersedia berinvestasi. Apalagi sudah nyaman berbisnis dengan China dan menguntungkan perusahaannya
Milliarder AS , Mr Michael Bloomberg misalnya, dengan bidang investasinya yang menginternasionalkan mata uang Renmimbi China, baik digital ataupun harfiah, walau menghasilkan uang yang cukup banyak bagi pundi kekayaannya sendiri namun secara geopolitik mata uang, bukan hanya mengancam mata uang cadangan devisa dunia yang didominasi Dollar AS, tetapi juga mengancam mata uang Euro Eropa, Poundsterling Inggris dan Yen Jepang. Padahal kekuatan mata uang adalah salah satu lambang dan kekuatan kedaulatan suatu negara.
Demikian pula dengan Mr Bill Gates. AS boleh berbangga dan hormat pada Mr.Bill Gates. Penemuan yang luar biasa Microsoft-nya hingga kini menjadi bisnis nomor satu di dunia dalam bidangnya.
Keberhailan ini bukan hanya menghasilkan banyak keuntungan bagi Bill Gates sendiri termasuk citra baiknya, namun AS sebagai negaranya ikut terangkat gengsinya sebagai negara adi daya. Kiprah Bill Gates yang lain adalah bisnis kesehatan yang memerangi penyakit HIV, Ebola, TBC dan Malaria.
Namun pemerintah AS cq Trump, terpaksa harus menghentikan langkah Bill Gates ketika dia mulai terjun di bidang pemanfaatan energi nuklir non proliferasi nya yang sayangnya bekerjasama dengan China.
Bisa dikatakan, Bill Gates adalah pengusaha yang dirugikan atas perang dagang AS vs China.
Terra Power
Selama lebih dari satu dekade, Bill Gates telah mendanai TerraPower, sebuah perusahaan perintis yang berusaha merancang, membangun, dan mengkomersialkan reaktor nuklir revolusioner
Menurut keterangan perusahaan, ini adalah listrik bebas beban dasar karbon yang dapat dengan mudah menyediakan fondasi bagi jaringan energi generasi mendatang yang berfokus pada energi terbarukan.
Dalam prosesnya, Gates juga telah mendapat masukan dari orang-orang teknis.
Butuh waktu lama untuk menjadwalkan pembuatan prototipe karena tidak ada komputer yang cukup kuat untuk melakukan simulasi.
Memang tidak mudah, karena melanjutkan rencana itu akan membutuhkan banyak nyali, terutama setelah ledakan di Fukushima.
Rincian rencana Gates ini telah muncul di media secara sporadis, tetapi juga bisa dilihat uraiannya secara rinci dalam film dokumenter Netflix berjudul Inside Bill's Brain: Decoding Bill Gates.
Tetapi seperti yang dikatakan Gates dalam film itu, tidak ada cara lain untuk memberikan kekuatan beban-dasar sebesar yang dibutuhkan tanpa menggunakan reaktor nuklir.
Salah satu poin plus dari reaktor itu adalah berbeda dengan reaktor nuklir sekarang yang menggunakan bahan uranium 235.
TWR menggunakan bahan bakar uranium bekas dan dengan demikian akan menghabiskan 700.000 ton limbah yang disimpan di AS. yang saat ini merupakan produk sampingan limbah dari proses pengayaan uranium.
Desain uniknya secara bertahap mengubah bahan bakar melalui reaksi nuklir tanpa mengeluarkannya dari inti reaktor, menghilangkan kebutuhan untuk pemrosesan ulang, menghasilkan panas dan menghasilkan listrik selama periode operasi berkelanjutan yang jauh lebih lama.
Selain itu, menghilangkan pemrosesan ulang mengurangi kekhawatiran proliferasi, menurunkan biaya keseluruhan proses energi nuklir, dan membantu melindungi lingkungan dengan memanfaatkan produk sampingan limbah dan mengurangi produksi gas rumah kaca.
Perkiraan optimis dari perusahaan menunjukkan bahwa cadangan bahan bakar nuklir bekas di Amerika saat ini dapat digunakan dalam TWR untuk melistriki seluruh negara selama ratusan tahun, dan jauh lebih murah daripada pembangkit nuklir saat ini.
Selanjutnya, aspek keselamatan dari TWR adalah bahwa tidak ada penumpukan tekanan di dalamnya; paling buruk, reaktor akan mati jika ada sesuatu yang gagal.
Dan Bill Gates menggandeng China National Nuclear Corporation (CNNC) milik negara sebagai mitra untuk proyek percontohan.
Pada 2017 TerraPower mencapai kesepakatan dengan CNCC untuk membentuk perusahaan patungan yang akan menyelesaikan desain TWR dan mengkomersialkan teknologi.
Perusahaan itu, Global Innovation Nuclear Energy Technology Company Ltd, diharapkan tidak hanya membangun prototipe jenis pertama (FOAK), tetapi juga menawarkan desain ukuran penuh untuk ekspor.
Namun ketika persiapan makin matang dan TerraPower tengah bersiap untuk menghancurkan prototipe reaktor 600 MegaWatt di provinsi Fujian dan mengganti dengan reactor Terra Power, maka Pemerintah AS dibawah Pemerintahan Trump yang mengetahuinya langsung melarangnya.
Dilatari sikap tidak mau kecurian tehnologi dengan China, terutama persaingan non profilerasi nuklir maka Departemen Energi AS (DoE), mengumumkan pada Oktober 2018 bahwa mereka menerapkan langkah-langkah untuk "mencegah pengalihan ilegal teknologi nuklir sipil AS untuk keperluan militer atau lainnya yang tidak sah."
Peraturan itu dikeluarkan oleh Pemerintah AS sebagai tanggapan atas berbagai kejadian yang berulang kali dilakukan China melalui agen dan mata matanya yang mencuri kekayaan intelektual AS termasuk yang terkait dengan energi nuklir dari perusahaan-perusahaan AS.
Langkah-langkah itu telah membuat hampir tidak mungkin lagi bagi Gates untuk mengembangkan proyek TerraPower di China.
Perjanjian akhirnya batal atau menunggu perubahan kebijakan baru yang diperkirakan sulit bila Trump berkuasa.
Pertanyaan kuncinya kemudian:
Mengapa sebuah perusahaan Amerika, yang didanai oleh salah satu dermawan paling kaya dan terhormat Amerika, malah menggandeng ke Cina untuk membangun reaktor nuklir generasi berikutnya? Kenapa tidak di AS saja?
Jawaban sederhananya adalah bahwa orang Amerika terkenal takut dan tidak ramah terhadap tenaga nuklir. Meskipun nuklir telah secara andal dan aman menyediakan sekitar 20% listrik di AS selama seperempat abad terakhir, mayoritas orang Amerika menentangnya dan politisi telah berulang kali membangun penghalang berupa peraturanyang makkinbanyak , menaikkan biaya yang membuat pembangkit listrik tenaga nuklir baru hampir tidak mungkin untuk dibangun.
Sebenarnya menurut Pemerintah AS mereka mendukung pengembangan reaktor nuklir, hanya saja jangan dengan negara yang jelas merupakan lawan dari AS seperti Ruisa dan negara copycat seperti China .
Menurut Christopher Ford, asisten sekretaris untuk keamanan internasional dan nonproliferasi di Institut Hudson di Washington DC mengungkapkan dalam pidatonya:
Departemen Luar Negeri bermaksud untuk secara aktif mencegah para mitranya untuk bekerja dengan China dan Rusia.
“Rusia dan China menggunakan penjualan reaktor oleh industri nuklir mereka yang sangat didukung negara sebagai alat geopolitik untuk memperdalam hubungan politik dengan negara-negara mitra, untuk menumbuhkan ketergantungan energi oleh mitra asing, dan kadang-kadang bahkan menggunakan pembiayaan predator untuk memikat kepemimpinan politik asing ke dalam ‘perangkap utang’ yang memberi Beijing atau Moskow leverage yang dapat dieksploitasi nanti untuk keuntungan geopolitik.”
Selama pidato tersebut, Ford juga menguraikan rencana Negara untuk membantu perusahaan-perusahaan Amerika bersaing dengan perusahaan-perusahaan Cina dan Rusia.
Departemen ini akan lebih erat mengoordinasikan upaya kerja sama nuklir lintas lembaga dan meningkatkan pembicaraan tidak mengikat yang tidak mengikat dengan negara-negara yang mungkin mengejar teknologi energi nuklir. Tujuannya adalah untuk memperluas jumlah negara yang terlibat dalam komunikasi berkelanjutan dengan lembaga pemerintah AS, perusahaan energi nuklir, dan peneliti.
Sementara Ed McGinnis, wakil asisten sekretaris utama Departemen Energi untuk energi nuklir, mengatakan
Fokus negara adalah meningkatkan penjualan generasi baru teknologi nuklir yang diharapkan akan online dalam lima hingga 10 tahun mendatang, kata pejabat itu.
Itu termasuk reaktor modular kecil yang dapat dibuat bersama untuk membentuk unit yang lebih besar, reaktor Terrapower yang didukung oleh Bill Gates dan mikroreaktor dimaksudkan untuk menyediakan daya yang cukup untuk beberapa ribu rumah.
Di bawah McGinnis dan Sekretaris Rick Perry, salah satu prioritas utama Departemen Energi adalah memfasilitasi pengembangan teknologi baru ini. Mengutip kata katanya:
“Kami masih memimpin dunia dalam inovasi teknologi nuklir,” katanya. “Tantangan besar kami adalah mengambil IP yang luar biasa dan terobosan inovatif teknologi yang luar biasa dan membawanya ke pasar. Itu adalah tantangan kami.”
Pada akhirnya saat ini di awal tahun 2020 ini , Bill Gates dengan Terra Power nya didukung DoE berhasil menggandeng GE Hitachi Nuclear Energy Jepang untuk kerjasama.
Apakah sebab kasus Terrapower ini, disamping bisnisnya di bidang kesehatan pula yang sebabkan ketidakcocokan Bill Gates dan Donald Trump?
Penulis: Adi Ketu