TERGAGAP CORONA
Ada perbedaan besar antara percaya diri dan gegabah. Cara Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menangani wabah virus corona terbaru di negeri ini lebih tepat disebut sembrono ketimbang merefleksikan kepercayaan diri pemerintah Indonesia.
Kesembronoan itu, misalnya, tampak dari berbagai pernyataan publik oleh Terawan yang cenderung meremehkan cepatnya penyebaran virus flu yang bisa mematikan penderitanya ini. Dia berkali-kali menyarankan masyarakat berdoa agar tidak terkena Covid-19. Dia bahkan sempat meminta orang beramai-ramai melakukan salat istigasah agar Indonesia bebas corona.
Sebagian kalangan mungkin bisa menerima jika gaya berkomunikasi Terawan itu didesain hanya untuk konsumsi khalayak ramai, misalnya demi menenangkan warga agar tak panik. Masalahnya, banyak yang mengeluhkan, gaya serupa dia terapkan di dalam Kementerian Kesehatan. Protokol standar dalam penanganan krisis sama sekali diabaikan.
Menteri Terawan tidak melibatkan rumah sakit yang kompeten, lembaga penelitian yang relevan, dan dinas kesehatan di berbagai provinsi untuk bersama-sama menangani ancaman epidemi ini. Dia bahkan tidak rutin berkoordinasi dengan organisasi kesehatan dunia seperti WHO agar penyebaran virus corona di Indonesia bisa dipantau secara global.
Puncaknya, ketika dua warga Depok, Jawa Barat, positif terjangkit corona, pemerintah kelabakan. Sejumlah informasi menyebutkan Presiden Jokowi tidak mendapat laporan langsung dari Terawan. Sang menteri bahkan tak hadir dalam rapat khusus membahas krisis ini di kementeriannya sendiri.
Tak hanya itu. Kacaunya koordinasi juga terlihat ketika Pemerintah Kota Depok diminta staf Menteri Kesehatan tidak menyebarkan informasi tentang dua pasien Covid-19. Belakangan kabar itu justru diumumkan sendiri oleh Presiden ke khalayak.
Indonesia seharusnya lebih sigap menghadapi krisis seperti wabah Covid-19 ini. Kita punya pengalaman ketika menangani wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan flu burung beberapa waktu lalu. Protokol krisis dalam penanganan kejadian luar biasa semacam ini juga sudah tersedia.
Memang kita bukan satu-satunya negara yang tergagap-gagap menghadapi wabah penyakit ini. Pemerintah Cina semula juga dikritik karena tak transparan melaporkan perkembangan penyebaran virus ini kepada warganya dan dunia internasional. Pemerintah Jepang dipersalahkan karena mengisolasi hampir 4.000 penumpang kapal pesiar Diamond Princess di pelabuhan, yang justru menyebabkan penyebaran wabah itu lebih fatal. Gaya komunikasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump soal virus ini juga dicerca. Namun itu bukan alasan untuk memaklumi kekurangan pemerintah kita.
Menteri Terawan sebenarnya punya banyak waktu untuk bersiap. Ketika wabah ini pertama kali merebak pada awal Januari lalu di Tiongkok, langkah-langkah antisipasi seharusnya diambil. Apalagi pakar kesehatan Harvard University sudah memperingatkan Indonesia, sejak pertengahan Februari lalu, soal lemahnya prosedur deteksi penyebaran virus corona di pos-pos perlintasan untuk warga Indonesia yang baru pulang dari Wuhan.
Sayangnya, semua itu dijawab Terawan dengan gaya menyepelekan, yang membuat publik makin waswas. Latar belakangnya sebagai jenderal militer dan kompetensinya yang minim soal kesehatan masyarakat bisa jadi membuat dia tak mampu memahami apa yang seharusnya dilakukan.
Kepanikan publik yang sempat muncul setelah pengumuman Presiden Jokowi awal pekan lalu seharusnya tidak terjadi jika sejak awal pemerintah tidak ngeyel dan tak menganggap enteng wabah ini. Fakta bahwa angka kematian akibat virus ini rendah dan puluhan ribu orang sudah sembuh bukan alasan pembenaran untuk tidak bertindak cepat tanggap.
Stimulus ekonomi yang diluncurkan pemerintah bersama Bank Indonesia tentu perlu disambut baik, tapi daya dongkraknya pasti terbatas jika tak dibarengi strategi mitigasi di bidang kesehatan publik. Pada fase kritis ini, tak ada gunanya mendorong orang berlibur meski harga tiket dibuat murah.
Kepercayaan publik bisa kembali jika strategi pemerintah dalam penanganan wabah ini diperbaiki. Penunjukan juru bicara khusus untuk isu corona menandakan upaya koreksi sudah mulai dilakukan. Menteri Terawan bisa membantu dengan mengurangi blunder yang tak perlu dan berfokus mendeteksi warga yang rentan terkena dampak virus, membatasi penyebaran wabah, serta menyembuhkan mereka yang sakit. Kalau itu tak dia lakukan, Presiden perlu mempertimbangkan figur yang lebih tepat di kursi Menteri Kesehatan.[]
Sumber: Majalah TEMPO (9/3/2020)