Seriusan, sy kadang nggak sampai lagi logika pejabat di negeri ini.
Mereka hanya mengimbau: kerja di rumah, ibadah di rumah, semua di rumah. Itu imbauan yang bagus.
Lantas, ketika ada warga yang keluar rumah, boleh? Jawabannya simpel: boleh. Kan cuma di-imbau. Peraturan mana yang melarangnya? Bahkan UU 1945 menjamin semua orang bebas kemana2. Justeru membubarkan kumpul2 di kafe, dll itu melanggar hak asasi. Karena UUD 1945 menjaminnya. Karena belum ada peraturan yang melarangnya. Catat itu baik2, BELUM ada. Apa haknya aparat membubarkan?
Pemerintah itu pengecut, mereka takut membuat keputusan radikal melawan corona, karena mereka lebih sayang ekonomi, lantas apa yang mereka lakukan? Mereka mengimbau. Saat rakyatnya bandel, mereka nyalahin rakyatnya. Enak banget. Padahal dul, rakyat itu butuh makan, sebagian perusahaan masih nyuruh mereka masuk, dsbgnya. Lu cuma mengimbau, eww, berharap dipatuhi?
Lantas bagaimana biar warga benar2 nurut? Terbitkan Peraturan Pemerintah, atau apa kek. Putuskan. Dengan kalian membuat keputusan: karantina lokal, karantina wilayah, karantina Indonesia, kalian punya peraturan yang menjadi landasannya. Dan merujuk UU 1945, UU penyakit menular, UU karantina, kalian berhak menerapkan pidana penjara, denda, dsbgnya kepada siapapun yang melanggar.
Kalau situ cuma mengimbau, saya Tere Liye, juga bisa. Kagak perlu orang yang punya kuasa atas anggaran 1.000 trilyun lebih. Bahkan mamang tukang sayur, tukang bakso, tukang mebel, juga bisa, mengimbau. Semua orang bisa mengimbau: tetaplah di rumah. Tuh, bisa loh. Bahkan anak TK saja bisa mengimbau: ada kolona, dilumah aja yach. Tuh, bisa.
Namanya juga imbauan, di negara2 maju saja, kayak Amerika, Eropa, warga juga selow, santuy. Namanya imbauan, moso imbauan minta wajib dipatuhi. Tapi sekali dia jadi peraturan pemerintah, keputusan Presiden, keputusan Perdana Menteri, keputusan Raja Api, wah, serius jadinya. Tentara dikerahkan. Penegak hukum dikerahkan. Yang bandel tangkapi. Ada dasar hukumnya. Sah sudah. Katanya pada pinter hukum, logika gini saja ribet.
Tapi, tapi, tapi nanti terjadi kepanikan massal, dll kalau karantina? Yo wis, silahkan kalian pikirkan solusinya. Mbuh. Kan itu memang kerjaan kalian toh? Pas pilpres, pilgub, dll, wuiiih, bertebaran di mana2 poster, baliho, spanduk kalian? Semua rebutan berkuasa, janji ini, janji itu, bahkan anak, cucu, mantu, istri, semua diajak jadi pejabat. Itu resiko kalian jadi pejabat. Dan kalian digaji. Nah, jika tidak kuat lagi, minggir. Mundur. Sy saja sebagai penulis alay gak laku, yg sepeser pun tidak minta APBN, tiap hari dimaki orang, ada yang ngatain anjing, babi, saya selow saja. Besok2 kalau sy tidak kuat lagi, sy berhenti jadi penulis. Simpel. Moso kalian yg naik pesawat dibayarin, nginep di hotel, dibayarin, tunjangan ini, itu, pas enaknya nggak ngajak rakyat, pas pusing malah ngajakin. Pas bagi2 jabatan direksi, komisaris BUMN kalian nggak minta solusi; eh pas dpt masalah, ribut nanyain ke rakyat, mana solusi, dan mana DONASI-mu wahai rakyat. Ember.
Maka, jika kalian pengecut bikin keputusan karantina, hanya modal imbauan saja, pasrah sajalah, dul, kalau rakyatnya bandel, sorry, jangan marah2lah. Selow saja. Lagian, bukankah baru beberapa minggu lalu elu-elu bikin keputusan tiket pesawat murah, hotel, dll disubsidi pajaknya, orang2 malah disuruh jalan-jalan. Perasaan baru beberapa minggu lalu, elu2 bilang kagak ada corona di Indonesia, itu cuma mobil toyota corona. Sekarang kok minta tinggal di rumah saja? Dan pastikan, kalian baca UU tentang karantina sebelum mengambil keputusan lockdown. Karena jangankan manusia, makan buat hewan ternak saja adalah tanggungjawab pemerintah pusat. Cari solusinya sana. Rakyat sudah bayar pajak, maka mereka minimal sudah menunaikan kewajiban pajaknya. Tinggal elu tunaikan kewajiban dan janji2 manis kalian saat rebutan minta dipilih jadi pejabat.
Nah, jika kalian beraaat sekali karantina wilayah, mulailah test jutaan orang2. Semua ditest. Biar kita tahu posisinya. Di Korea Selatan yang tidak pakai lockdown dan berhasil menurunkan angka penderita, setiap satu juta orang, di test 6.148 orang (data 20 Maret). Itu artinya, Indonesia harus test setidaknya 1,5 juta orang dalam waktu cepat. Sekarang ini semua gelap. Gelap-gelapan kok mau perang. Gerak cepat gitu loh. Jangan lelet. Elu sih ngerasa sudah cepat banget, tapi virus ini bahkan sudah tiba di desa2, di kampung2.
Dan berhentilah menggampangkan masalah ini. Berapa usia kalian? Tanyakan ke bapak/ibu kalian yang usianya 40 tahun. Pernah nggak sepanjang hidup mereka, ada libur sekolah 2 minggu gara2 pandemi? Belum pernah. MAKA JIKA 40 TAHUN belum pernah, lantas hari ini, seluruh dunia nyaris menutup sekolah2 minimal2 2 minggu (ada yang malah sudah 2 bulan) itu artinya ini serius, bukan buat bergurau.
Tulisan ini bukan soal politik. tulisan ini tentang kemanusiaan. suruh idola2 kalian itu mengambil keputusan lebih cepat. kalau besok2 toh akhirnya tetap saja karantina wilayah dilakukan, ngapain harus berminggu2 ributnya. kenapa nggak dari kemarin2, dul.
(By Tere Liye)
___
*dari fb Tere Liye (Minggu, 29/3/2020)