Setelah BPJS, Ayo Gugat Juga Pemindahan Ibukota
Hari ini, para pembayar iuran BPJS Kesehatan bergembira. Kemarin, Senin (9/3/2020) Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran yang harus mereka bayar sejak 1 Januari 2020. MA mengabulkan gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang dilayangkan awal Desember 2019. Komunitas mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat tidak masuk akal.
Kenaikan itu dilakukan secara sewenang-wenang oleh Presiden lewat Perpres No. 75 Tahun 2019. Iuran Kelas III dinaikkan menjadi Rp42,000 per bulan dari Rp25,500. Kelas II dinaikkan menjadi Rp110,000 dari Rp51,000. Dan Kelas I dinaikkan menjadi Rp160,000 dari semula Rp80,000.
Bagi banyak peserta, kenaikan iuran ini sangat membebani mereka. Tetapi, pemerintah tidak mendengarkan keluhan rakyat. Pemerintah membuat dan memberlakukan kebijakan secara otoriter. Alhamdulillah, MA masih bisa diharapkan untuk menegakkan keadilan. Pemerintah harus mengembalikan besaran iuran BPJS Kesehatan ke harga semula.
Sebetulnya, banyak lagi kesewenangan pemerintah yang pantas digugat. Salah satunya adalah pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur. Sudah banyak yang mengatakan bahwa pemindahan ibukota bukanlah hal yang mendesak. Proyek ini hanya akan buang-buang duit negara.
Yang paling senang adalah para pemilik ratusan ribu hektar lahan untuk ibukota baru itu. Merekalah yang dibuat kaya-raya oleh Presiden Jokowi. Rakyat tidak merasakan manfaat apa-apa. Bahkan, ribuan pegawai negeri akan merasakan beban berat kalau mereka harus pindah lokasi dari Jakarta.
Setelah kemenangan gugatan BPJS Kesehatan, berbagai pihak tampaknya memiliki peluang untuk menggugat pemindahan ibukota. Banyak dasar penggugatan.
Pertama, pemidahan ibukota tidak bisa hanya diputuskan oleh Presiden. Ibukota negara adalah entitas yang menjadi hak dan menyangkut kepentingan rakyat seluruhnya. Karena itu, harus ada proses yang melibatkan seluruh rakyat yang punya hak pilih. Harus ada referendum. Rakyat harus ditanya, setuju pindah atau tidak.
Kedua, pemindahan ibukota itu akan membebani keuangan negara ribuan triliun. Hanya akan menumpuk utang yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Padahal, utang yang sudah menggunung saat ini saja menimbulkan dampak buruk terhadap pemenuhan kewajiban negara atas rakyat. Termasuklah beban kenaikan BPJS Kesehatan yang dibatalkan oleh MA.
Ketiga, pemindahan ibukota akan membuka peluang korupsi dan kolusi. Pemindahan ini hanya akan memperkaya para pemegang kekuasaan dan kroni-kroni mereka yang akan dilibatkan dalam proses pemidahan. Para pemilik ratusan ribu hektar lahan akan menangguk keuntungan besar. Juga para pengembang yang sudah banyak mengisap kekayaan negara selama ini. Mereka itulah yang akan ditambah kekayaannya berlipat-lipat oleh pemidahan ibukota. Dan orangnya itu-itu juga. Sudah bisa dipetakan.
Keempat, pemindahan ibukota hampir pasti akan menyusahkan para pegawai yang juga harus pindah. Tidak semua pegawai negeri memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai problem yang muncul jika mereka harus pindah ke ibukota baru. Ada masalah finansial, masalah anggota keluarga, masalah sosial, dlsb.
Jadi, ada celah untuk menggugat pemindahan ibukota. Rakyat bisa melakukan gugatan ’class action’. Para pegawai negeri juga bisa menggugat keputusan Presiden Jokowi tentang pemindahan ibukota itu. Jangan biarkan pemindahan itu berjalan tanpa ada ‘check and balances’.
Jangan biarkan peluang korupsi menjadi kenyataan. Kesewenangan Presiden Jokowi harus dicegah. Dia tidak boleh menjadi otoriter yang mengutamakan kepentingan dan keuntungan segelintir pemiliki modal yang culas dan rakus.
Yakinlah, gugatan Anda akan berhasil.
10 Maret 2020
(By Asyari Usman)