RUGI BERLIPAT KERETA CEPAT
Inilah hasilnya jika pembangunan infrastruktur hanya untuk gagah-gagahan. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kian terang bakal menjadi contoh buruknya dampak dari keputusan pemerintah yang ambisius. Masalah lingkungan yang kini timbul akibat proyek senilai Rp 66,75 triliun itu bukan tak mungkin menjadi bencana ekonomi di masa mendatang.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai kemarin (Senin 2/3/2020) menghentikan sementara proyek kereta cepat Jakarta-Bandung selama dua pekan ke depan. Pekerjaan konstruksi proyek ini dianggap mengganggu kelancaran lalu lintas jalan tol Jakarta-Cikampek, jalan tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi), dan jalan non-tol di sekitar proyek.
Ulah kontraktor menumpuk material di bahu jalan juga dinilai mengganggu fungsi drainase di sekitar lokasi proyek. Di sisi lain, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai penggarap dinilai terlambat membangun drainase yang terputus akibat kegiatan proyek. Walhasil, banjir meluber hingga ke badan jalan tol pada awal Januari lalu. Kejadian serupa berulang pada akhir Februari lalu, yang memicu kemacetan.
Proyek ini sejak awal memang dipaksakan. Kementerian Perhubungan era Menteri Ignasius Jonan, pada September 2015, mengusulkan agar proyek ini dibatalkan dan diubah menjadi kereta medium yang lebih masuk akal dari segi pengoperasian dan pembiayaan. Jarak Jakarta-Bandung yang hanya 150 kilometer bakal membuat kereta peluru ini tak akan mencapai kecepatan maksimumnya di kisaran 350 kilometer per jam. Apalagi kereta ini harus berhenti di empat stasiun. Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, sempat mengumumkan bahwa Presiden Joko Widodo mengabulkan usul tersebut. Tapi Jokowi sendiri yang di kemudian hari menegaskan bahwa proyek kereta cepat dilanjutkan.
Dampak inkonsistensi itu berlanjut dalam hal pembiayaan. Sudah tepat pemerintah memutuskan tak adanya duit negara (APBN) untuk mendanai proyek ini. Tapi keputusan untuk mengurangi risiko keuangan negara itu tak efektif lantaran pemerintah menugasi empat badan usaha milik negara, yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk, untuk terlibat dalam proyek mercusuar ini.
Mengantongi 60 persen saham KCIC, keempat perusahaan pelat merah itu tetap harus merogoh kocek untuk modal konsorsium yang akan menutup 25 persen kebutuhan investasi proyek. Wijaya Karya, misalnya, harus berutang kepada Sumitomo Mitsui Banking Corporation untuk memenuhi kewajiban ini. PT KAI dan PTPN VIII belakangan juga harus menyetor dana tunaiberubah dari rencana awal menyumbang lahan. Bebannya tak berhenti di situ. Bersama konsorsium Cina yang menguasai 40 persen saham KCIC, China Railway Corporation, mereka juga harus gotong royong menanggung utang senilai Rp 49,85 triliun, belum termasuk bunga, dari China Development Bank.
Gunungan utang BUMN itu pada akhirnya bisa membebani negara jika pembangunan kereta cepat ini berantakan. Lagi pula, kalaupun kelar, tak ada jaminan proyek ini kelak bakal untung. Jika benar-benar buntung, sungguh celaka negeri ini. Gara-gara proyek ini pula, ratusan hektare kawasan pertanian yang membentang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terpaksa beralih fungsi. [TEMPO]
*Catatan: Ini merupakan artikel tajuk koran TEMPO edisi 3 maret 2020