R E D U K S I
Upaya menundukkan Islam telah terjadi sejak lama. Ribuan cara dicoba, berbagai strategi dan teori diuji demi 'menjinakkan singa' yang tidak pernah mau kompromi untuk sebuah kata penindasan dan kedzoliman.
Pasca perang Diponegoro (1825-1830) Belanda mengalami kerugian hebat, 20 juta gulden melayang demi meredam lima tahun perlawanan sang Pangeran. Meski ending kisah hebat itu tragis; sang Pangeran ditipu dengan picik menggunakan cara ala-ala perundingan diplomatik
Takashi Shiraisi dalam bukunya An Age in Motion: Popular Radicalism in Jawa 1912-1926, menyebutkan bahwa setelah perang Diponegoro, Belanda mengubah strateginya. Dalam rangka mereduksi kekuatan islamis, pada 27 Februari 1832 mereka membentuk lembaga Instituut Voor het Javaanshe yang berfungsi melakukan pembentukan identitas baru masyarakat Jawa yang dimulai dengan mengikis spirit Islam mereka.
Hal itu dilakukan karena orang-orang Jawa pada masa itu sangat radikal dalam berislam (baca: Kuat), apalagi mereka yang berada di lingkaran Diponegoro. Maka lembaga yang dibuat belanda tersebut bertugas untuk me-deradikalisasi mereka.
Salah satu cara yang digunakan untuk mereduksi spirit keislaman yang disebutkan Karel Steenbrink adalah; Mencitrakan Islam sebagai Musuh menakutkan.
Cara itu masih dipakai hingga hari ini, apakah masih berhasil? saya pikir tidak. Karena kaum muslimin sudah sangat cerdas membaca hal tersebut. Allahu al-Musta'an.
*ket gambar: Sentot Ali Basya dan Pangeran Diponegoro, koleksi Tropen Museum Belanda. Sebuah penggambaran pakaian yang radikal menurut orang hari ini.
(By Fadjar Jaganegara)