Serangan Pada Karni Ilyas Menggunakan Akun Palsu
Oleh: Hariqo Wibawa Satria (Pengamat media sosial)
PADA 19 Desember 2019, saya memoderatori diskusi di Kantor Kemkominfo Jakarta. Temanya: Refleksi Pelaksanaan Keterbukaan Informasi Publik 2019. Penyelenggaranya Komisi Informasi Pusat (KIP) bekerja sama dengan Kemkominfo.
Hadir seluruh Komisioner KIP, Gede Narayana, Cecep Suryadi dan tim, juga para petinggi Kemkominfo, Rosarita Niken Widiastuti, Bambang Sigit Nugroho dan jajarannya, serta 70-an wartawan.
Yang mengagetkan, saat pengumuman penghargaan untuk “Media yang Telah Berkontribusi dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik,” nama media yang pertama kali disebut adalah Tempo, kemudian Kompas, TVOne, Metro TV, Radio Elshinta, RRI, Detik, dan Tribunnews. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Sekjen Kemkominfo dan Ketua Komisi Informasi Pusat.
Di depan forum saya komentari begini, “Saya pikir semua orang pemerintah enggak suka sama Tempo, rupanya saya salah. Saya pikir RRI masih seperti zaman orde baru, rupanya banyak juga berita RRI yang mengkritisi pemerintah, RRI telah menjadi Radio Rakyat Indonesia. Selamat untuk RRI.”
Hari ini saya kaget lagi, sejak kemarin Rabu 19 Februari 2020 hingga saat saya menulis ini, terus beredar foto lama Karni Ilyas di sebuah cafe. Ada empat orang dalam foto tersebut, tiga laki-laki termasuk dan seorang perempuan.
Foto itu digunakan untuk menyerang Karni Ilyas dengan cara; memotong foto sehingga seolah hanya Karni Ilyas dengan seorang perempuan muda, memposting foto dengan caption menyudutkan, membuat artikel di website, membuat poster, meme, video dan konten-konten lain untuk mematikan karakter Karni Ilyas. Serangan juga ditujukan pada anggota keluarga Karni Ilyas.
Setelah mempelajari pola dan isi konten yang digunakan, saya melihat tujuan serangan ini antara lain, agar tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) tidak lagi mengkritik pemerintah dan manajemen TVOne memecat Karni Ilyas. Kedua, ILC tidak mengundang narsum yang mengkritik pemerintah. Ketiga, supaya tema ILC sesuai dengan keinginan mereka.
“Mereka” yang saya maksud sebagian besar adalah akun-akun media sosial yang selama ini hanya mau mengonsumsi, menyebarkan berita-berita bagus tentang pemerintah.
Ada beberapa akun asli, namun kebanyakan akun palsu. Padahal hampir di setiap forum orang-orang pemerintah mengatakan “kami butuh kritik” atau “tanpa perdebatan tidak akan lahir solusi radikal, tanpa perdebatan tidak muncul peradaban luhur”.
Apakah mereka lupa kalau Pancasila itu lahir dari perdebatan-perdebatan sengit yang dimulai dan ditutup dengan doa.
Beberapa tema ILC juga dicurigai menghambat investasi, sementara pernyataan “Musuh terbesar Pancasila adalah Agama” yang memicu kegaduhan luput dari kritik saudara-saudara kita ini. Justru tayangan ILC dan konten di banyak media berhasil mendudukkan persoalan, sehingga kegaduhan berhenti.
Sebenarnya protes, kecaman ke ILC ini tidak hanya dilakukan akun pendukung pemerintah, akun oposisi pun banyak yang tidak puas dan marah-marah pada ILC.
Usut punya usut, ini rupanya karena berlebihan dalam mengidolakan seseorang. Di Kampus UI Depok, saya pernah diperlihatkan cover-cover majalah Tempo, banyak yang positif tentang Jokowi dan Ahok. Namun sekali majalah Tempo membuat cover menyindir, segera muncul serangan kepada Tempo dari segala penjuru. Jelas terlihat ada koordinasi dan mobilisasi dalam serangan itu.
Khusus untuk tayangan ILC atau dialog-dialog publik lainnya, pemerintah hanya perlu mencari jurubicara baru yang lebih sabar, smart dan segar. Orang sabar dan smart mungkin terlihat kalah berdebat di layar televisi, tapi kesabarannya bisa memenangkan hati publik. Tidak baik kalah berdebat kemudian temanya yang disalahkan, apalagi host-nya difitnah.
Pengkritik itu beda dengan pembenci. Bahkan, kritik adalah kesempatan untuk memberikan jawaban terbaik untuk melakukan simetrisme informasi, dan meraih dukungan otentik dari publik.
ILC dan media menyediakan panggung untuk para jubir pemerintah dan oposisi. Masyarakat tinggal menilai siapa yang berkualitas, yang digaji atau yang tidak digaji, yang punya anggaran atau yang tidak punya anggaran.
Di era digital dimana media banyak gulung tikar karena kue iklan beralih ke media sosial, kita bersyukur masih banyak media memegang teguh idealismenya. 2014-2019, partai oposisi cukup kuat mengawasi kekuasaan. 2020-2024 ini, salah satu harapan terbesar kita untuk mengawasi kekuasaan ada pada media dan media sosial.
Yakinlah, kritik pedas itu justru menyelamatkan tokoh idola kita dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mari letakkan kepentingan nasional di atas kepentingan tokoh idola kita. “Usia negara panjang, usia tokoh idola kita maksimal 100 tahun”. [RMOL]