Oleh: @rizkidwika
Mulanya gue nggak tertarik membahas soal Monas, tapi gue nggak kuat pas muncul sebuah pemberitaan yang mengeluarkan istilah "kejahatan lingkungan" yang membuat gue pengin tepok jidat.
Hah??? Kejahatan lingkungan? Apa tidak salah? Wkwkwk.
Ya iyalah ketawa. Sejak namanya masih Koningsplein hingga sekarang jadi Monas, lapangan itu ya "BUILT ENVIRONMENT" yang dibuat manusia.
Istilah kejahatan lingkungan itu lebih cocok buat kejadian MISALNYA Karhutla, Reklamasi Bali & Jakarta, sisa tambang, penyu Bengkulu, dll :)
BUILT ENVIRONMENT, atau padanannya dalam bahasa Indonesia "Lingkungan Binaan/Lingkungan Terbangun" adalah area/lingkungan yang direkayasa dan dibangun manusia.
Didesain, direncanakan. Bukan lingkungan alami. Bisa diubah-ubah sesuai kebutuhan kota, begitu juga Lapangan Monas.
Makanya statement-nya jadi lucu. Ibarat pergi ke Lembang tapi muter via Pangandaran.
KEJAUHANNNNNN.
Cuma orang naif yang nggak sadar pendapat ini bermuatan politis. Apalagi Ybs petugas partai.
Hadehhh. Paling males gue ranah arsitektur diseret dan digoreng ke politik praktis.
Sebelum membaca trit ini, gue menyarankan untuk melepaskan dulu preferensi politik kalian. Pilpres masih jauh, lu ngapain sih??? Kayak nggak punya kehidupan aja.
Mari membahas SEJARAH dan URGENSI revitalisasi Monas secara runut dan jelas supaya bernas.
Buat yang mau mikir aja :)
SIMAK SELENGKAPNYA THREAD berikut:
Sebelum membaca trit ini, gue menyarankan untuk melepaskan dulu preferensi politik kalian. Pilpres masih jauh, lu ngapain sih??? Kayak nggak punya kehidupan aja.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Mari membahas SEJARAH dan URGENSI revitalisasi Monas secara runut dan jelas supaya bernas.
Buat yang mau mikir aja :)
Hal yang jadi rame di internet berawal dari penebangan 190 pohon di Merdeka Selatan, bahkan sempet dijadiin gimik acara partai politik tapi gagal karena mendung.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
(Jangan diketawain, niatnya baik... hehe)
Penebangan ini menandakan dimulainya revitalisasi Monas dan Medan Merdeka. pic.twitter.com/KVt4nQJnxD
Apakah proyek ini ujug2? Yakale!
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Desember 2018, Pemprov DKI ngadain sayembara arsitektur dan desain interior untuk kawasan Monas.
Sayembaranya nggak main-main.
Jurinya antara lain prof. Gunawan, prof. Danisworo, Bambang Eryudhawan, nama-nama "menter" di arsitektur Indonesia. pic.twitter.com/UlrQzhyQC3
Sayembara ini terbuka buat umum, siapa aja bisa ikut asal memenuhi prasyarat (kelengkapan SKA, dll). Informasinya juga terbuka, nggak rahasia.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Januari 2019, pemenangnya diumumin ke publik. Desainnya ditunjukin. Kronologinya bisa dibaca di sini
↓↓↓https://t.co/JzQCi3RejK
Untuk kategori arsitektur, pemenangnya adalah tim yang diketuai Nelly Lolita.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Konsep yang diangkat mengusung tema "LABUAN NUSANTARA"#JULIDTEKTUR pic.twitter.com/FmBNXmjWpJ
Untuk kategori desain interior, pemenangnya adalah tim yang diketuai Mei Mumpuni.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Konsep yang diangkat mengusung tema "KIBAR KELANA NUSANTARA"#JULIDTEKTUR pic.twitter.com/wupUDjUhU8
Revitalisasi ini penting nggak sih? Menurut gue: sangat penting.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Coba, kapan terakhir lo main ke Monas?
Study tour?
Apa yang kita liat pas karyawisata zaman SD/SMP di zaman dahulu hampir nggak ada bedanya dengan Monas yang kita liat sekarang. Dari lapangan sampe dioramanya.
Masuk ke Monas di zaman sekarang ibarat masuk mesin waktu yang membawa kita ke tahun 80-90 an.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Dioramanya khas museum Orba. Baik display maupun tata letaknya. Nggak interaktif, dikacain, cuma di bagian dinding aja. Padahal, areanya masih lega. Akhirnya malah jadi tempat lesehan. pic.twitter.com/Sow2KznY3t
Pun dengan kawasan Medan Merdeka.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Yang biasa jalan ke Monas pasti paham betapa ngeselinnya masuk ke Monas gara-gara pagar kelilingnya itu.
Kita cuma bisa masuk dari Silang Timur Laut deket Istana, Silang Barat Daya, Selatan, dan Silang Tenggara (kadang2).
Muternya jauhhh. pic.twitter.com/98vjB0pFs3
Dulu, pemagaran diinisiasi oleh Gub Sutiyoso dengan tujuan supaya Monas nggak kumuh dari PKL. Menurut gue berhasil, tapi dalam konteks beberapa belas tahun yang lalu.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Sekarang masyarakat butuh ruang publik yang lebih inklusif dan gampang diakses. Udah "lumayan" paham ketertiban. pic.twitter.com/gmD6LTnj60
Kenapa gue bilang "lumayan" tertib?
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Buktinya bisa dilihat dari banyaknya ruang terbuka yang bisa diakses siapa aja. Ada pelanggar ya wajar, tinggal ditegur/ditindak.
Poinnya adalah: kawasan Monas sekarang udah nggak relevan dan ketinggalan zaman. Makanya perlu direvitalisasi. pic.twitter.com/QQIZPO8on8
Lapangan Medan Merdeka sendiri usianya udah 200 tahunan dan terus mencoba relevan di setiap zaman.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Tahun 1800-an, Pemerintah Kolonial memindahkan pusat kota dari Batavia ke Weltevreden. Dibangunlah dua lapangan: Waterlooplein (lapangan banteng) dan Buffelsveld (lapangan kerbau). pic.twitter.com/LRczckarnR
Waterlooplein kemudian dijadikan tempat kongkow-kongkow, sedangkan Buffelsveld berganti nama jadi Champ de Mars oleh Daendels karena doi sangat terpengaruh dengan Prancis dan lapangan itu dipake buat latihan militer.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Di bawah Inggris, ganti nama jadi Koningsplein (lapangan raja) pic.twitter.com/lx6cIJMshG
Nama itu bertahan sampe seterusnya karena Gubernur Jenderal Hindia Belanda kini tinggalnya di Istana Merdeka.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Lapangan Koningsplein (pribumi bilangnya Lapangan Gambir) pun dibangun berkali-kali sesuai kebutuhan di masa itu. Jadi tempat olahraga, taman, bahkan pasar malem. pic.twitter.com/1GofPr5bld
Di zaman kolonial juga ada beberapa rencana penyesuaian Koningsplein supaya tetap relevan dengan kebutuhan kota.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Pertama adalah rencana seorang botanis bernama Treub (1892)
Lengkapnya bisa disimak di artikel inihttps://t.co/sYgMibLmqz
Rencana kedua, oleh arsitek dan planner yaitu Thomas Karsten (1937).
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Tapi dua-duanya nggak kejadian. Keburu Belanda hengkang diganti Jepang. pic.twitter.com/2IUdhy5Bb3
Lapangan itu kemudian gonta-ganti nama, jadi IKADA dst.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Pascamerdeka, lapangan ini kembali mencari relevansinya lagi dengan zaman. Kali ini Sukarno yang bersemangat.
Medan Merdeka dijadikan sebagai nol kilometernya bangsa yang baru merdeka. Tugu Monas dibangun lewat sayembara. pic.twitter.com/n2RzJf7pKt
Beda masa, beda kebutuhannya.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Masuk di masa Orba, sektor selatan masih dijadiin tempat penyelenggaraan Pasar Gambir≈Pekan Raya Jakarta hingga akhir 80an.
Tugu Monas masih anggun dan paling mencolok di antara yang lain karena ketinggiannya. Medan Merdeka nggak ijo-ijo amat. pic.twitter.com/7MbiUH16Xv
Masuk era 90-an, PRJ mulai dipindah ke Kemayoran.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Di sekeliling kawasan keliling (periferi) Monas mulai muncul bangunan berlantai banyak, terutama gedung-gedung pemerintahan misalnya Kemenhub, Gedung Kwarnas, Sapta Pesona, dll.
Monas nggak tinggi sendirian. Tetangganya banyak. pic.twitter.com/2AZodXIadY
Tahun 1995, jelang 50 tahun Indonesia Merdeka, Soeharto mengeluarkan Kepres No 25 Tahun 1995.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Pembangunan Kawasan Medan Merdeka diatur dan dikoordinasikan bersama. Keliling Monas dibagi tiga zona yang kemudian dibuat masterplannya. pic.twitter.com/rv5193CuRg
Kalo dijejerin, inilah kronologis kawasan Medan Merdeka (Monas)
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
(i) Eksisting 1995
(ii) Masterplan Monas versi 1995
(iii) Monas hari ini
(iv) Pemenang sayembara versi 2019 pic.twitter.com/rYjHUrsIqK
Secara desain, nggak ada perbedaan kontras antara masterplan 1995 dengan 2019.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Jalan keliling dalam Monas masih sama bentukannya. Aksis jalannya juga masih terjaga. Perbedaannya paling cuma posisi kolam, stasiun MRT, dan detail-detail lainnya. Secara garis besar masih sesuai. pic.twitter.com/VrZKirPglO
Nah, untuk mengubah Monas hari ini menjadi Monas yang baru sesuai masterplan di Kepres dan sayembara, yang harus dilakukan adalah:
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
1. Bongkar pagar keliling
2. Menyambungkan plaza Utara-Selatan-Timur-Barat (kotak merah) dengan jalan dan trotoar. Kondisi sekarang nggak gitu. pic.twitter.com/UPNn0CCWwh
Makanya, ketika pengerjaan dimulai dari sektor selatan, sebetulnya gue paham.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Sisi itu emang jadi pintu masuk paling rame, bisa ngeliat Monas secara lurus, dan banyak fasilitas pendukung di Medan Merdeka Selatan (bus wisata, Perpusnas, dll.)
Bakalan "walkable" banget.
Revitalisasi monumen bangsa ini ambyar ketika mulai banyak gorengan-gorengan tentang pohon terkait proyek ini.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Semua langsung jadi pada SJW lingkungan, sampe menilai bilang proyek ini sia-sia dan cuma jadi bancakan proyek semata. Yaelllah.
Secara gagasan, revitalisasi Monas menurut gue penting dilakukan. Udah umurnya. Udah ketinggalan zaman. Monas nggak cukup bikin warga bangga hanya dengan mainan LED aja. Ini perlu dijadiin pegangan bersama.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Hanya saja, eksekusinya perlu dikritisi. Termasuk soal pohon-pohon tadi.
24 Januari 2020.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Sekda DKI bilang sih ada yang ditebang, ada yang dipindah ke barat dan timur.
Prosesnya juga melalui diagnosis dulu, pohon yang tua ya ditebang daripada bahaya.https://t.co/ZUugCpLgRg
Jumlah pohon yang ditebang dan direlokasi per 20 Januari 2020:
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
92 pohon oleh proyek MRT di sektor barat, 190 pohon oleh Pemprov DKIhttps://t.co/fbXutTHY4t
Per tanggal 22 Januari 2020 sendiri, MRT mengaku sudah mengganti 92 pohon tadi dengan 920 pohon baru.https://t.co/3dKllGAGvM
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Apakah soal tebang menebang ini hal yang baru? Nggak. Dari dulu ya juga begitu.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Setiap revitalisasi, pohon hilang, disuruh diganti, tapi nggak tau digantinya di mana, prosesnya seterbuka apa, dst.
Jadi orang nggak usah kagetan. Yang namanya pemerintah kebanyakan ya sama aja. pic.twitter.com/ZWRzG5HeWf
Pun dengan proyek revitalisasi Monas.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Untuk membangun stasiun MRT di barat dan plaza di selatan Monas, diperlukan penyesuaian, salah satunya dengan clearing lahan (dan pohon). Ya mau nggak mau.
Penggantian itu yang harusnya dikawal, bukan ujug-ujug jadi penyayang pohon dadakan.
Ini adalah pendapat dari si perancang pemenang sayembara-nya.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Beliau bilang mereka nggak dilibatkan jadi pengambil keputusan dan kaget lapangan upacara hasil sayembara itu justru malah dijadiin tambah lebar.https://t.co/EnHlkELFu7
Kesalahannya bukan di gagasan, tapi di level eksekusi (yang menurut gue kurang koordinasi).
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Sebagai orang biasa, saran gue ada baiknya kita nggak usah naif langsung nuduh itu proyeknya korupsi dan seterusnya dan seterusnya hanya karena nggak seneng ama Gub-nya. Kenapa?
Pemenang sayembara ini dari biro yang namanya udah sering bikin ruang publik di berbagai kota di Indonesia, jam terbangnya tinggi, dan proyeknya menang banyak penghargaan: LABO.https://t.co/1m9s7aW1Wb
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Kontraktornya gimana?
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Beberapa hari yang lalu sempet heboh soal kantor kontraktor yang "ghaib" dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan sampe dibawa ke KPK tapi berkas nggak lengkap.
Kenyataannya, PT tsb langganan ikut tender pemerintah pusat dan menang. https://t.co/bj4174pZso
Lagipula, istilah "pinjam bendera" dan sub sub sub subkon dalam proyek pemerintahan itu udah jadi rahasia umum.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Makanya gue agak ketawa pas ada parpol yang menggoreng isu ini sampe ke KPK.
Salah? mungkin. Tapi mau gimana? Benerin masuk sistem? Yang ada malah kayak Helmy Yahya. pic.twitter.com/5koh4tqtUA
Poin dari trit ini adalah:
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
1. Penebangan pohon udah kejadian. Sekarang tinggal kita sebagai warga harus bisa memastikan pohon itu digantikan dengan pohon yang baru, supaya 5-10 tahun lagi Monas bisa rimbun kembali seperti di gambar sayembara. pic.twitter.com/FS3mam4Vqz
2. Gue sebagai warga negara biasa menuntut revitalisasi Monas bisa dilakukan hingga selesai, karena merasa kawasan Monas hari ini udah terlalu usang dan butuh penyegaran.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Nggak perlu buru-buru, yang penting hasilnya berkualitas bagus, bisa dipake warga buat wisata hemat.
3. Meminjam poin penting dari Bu @elisa_jkt, pemerintah daerah maupun pusat, plislah, kalo mau ngerjain proyek, mbok ya di-sounding yang gencar ke orang2.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Online dan offline harus jalan. Bikin poster hitung mundur (countdown), sosialisasi desain, dll.https://t.co/SYS7waNdMJ
4. POLITIKUS DAERAH MAUPUN PUSAT, DAHLAH NGGAK USAH DRAMA.
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Drama kalian cuma bikin hak kami sebagai warga WN jadi tertunda. Dramaaaaaa mulu kek Indosiar.
Pada mikirin 2024?
Masih jauh boooorrrrrr.
Toh 15 Agustus 2020 semua pemerintahan di muka bumi berakhir kata Sunda Empire.
=== selesai ===
— #JULIDTEKTUR (@rizkidwika) February 1, 2020
Yuk diskusi pake hashtag #JULIDTEKTUR!