Ketabahan Ali dan Fatimah
Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah anak kesayangan Rasulullah dengan mahar tak seberapa (dalam sebuah riwayat Ali menikahi Fatimah dengan mahar baju zirahnya, karena hanya itulah hartanya yang berharga). Setelah menikah, Ali membawa Fatimah ke rumahnya yang sangat sederhana. Hanya berisi penggiling gandum, bejana tempat air, tikar dan alas tidur dari kulit domba.
Sebagai istri, Fatimah manut saja dengan sang imam yang dicintainya. Ia menerima kelebihan dan kekurangan suaminya. Meski dikenal pemberani dan ahli strategi, secara ekonomi kehidupan Ali memang bisa dibilang pas-pasan. Telapak tangan Fatimah yang semula halus, mendadak kasar karena harus menggiling gandum seorang diri. Tubuhnya kurus, pakaian yang dikenakan Fatimah itu-itu mulu. Tak ada anggaran buat membeli baju baru, nafkah dari sang suami hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itupun masih harus berhemat, tak jarang Fatimah dan Ali harus berpuasa, yang penting Hasan dan Husein tak kelaparan.
Apakah dengan begitu dapat disimpulkan bahwa Ali seorang pemalas? Buktinya ia tak dapat menafkahi keluarganya secara layak. Buang jauh-jauh pemikiran itu kawan! Selain disibukkan dengan aktifitas mengawal dakwah Nabi Muhammad SAW, Ali juga melakukan perniagaan. Namun cuma segitulah rejeki yang diberikan Allah SWT kepada Ali bin Abi Thalib. (Dalam beberapa perang yang diikutinya, Ali mendapat bagian ghanimah (pampasan perang) tapi seringkali ghanimah tsb tidak dibawanya ke rumah karena disedekahkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.)
Bagaimana respon Rasulullah kala melihat kemiskinan Ali yang menikahi anak kesayangannya? Sebagai pemimpin ummat Islam kala itu, sangat gampang bagi baginda Nabi Muhammad SAW untuk memfasilitasi Fatimah dengan kemewahan. Mudah bagi Rasulullah untuk menyediakan pembantu buat Fatimah. Tak sulit bagi Rasulullah untuk menyediakan rumah beserta perabotan yang lengkap bagi Ali, istri dan anak-anaknya. Namun hal itu tak pernah dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Kenapa? Karena Rasulullah menghargai Ali yang telah menjadi suami Fatimah. Ijab qabul itu memang singkat, terdengar sepele. Namun kalau mau dikaji lebih lanjut, ijab qabul merupakan peralihan tanggung jawab seorang ayah kepada pria yang menikahi anak perempuannya. Maka dari itu sebagai mertua, Nabi Muhammad SAW tak mau terlalu jauh mencampuri persoalan rumah tangga Ali bin Abi Thalib.
Dalam satu masa, Fatimah sempat mengadu dan menangis pilu tentang kemiskinan yang dideritanya kepada sang ayah. Rasulullah hanya tersenyum lalu membekali Fatimah dengan hafalan doa agar selalu sabar dalam menghadapi cobaan hidup didunia. Doa yang diajarkan Rasulullah sebagai berikut:
يَا أَوَّلَ الْأَوَّلِينَ وَيَا آخِرَ الْآخِرِينَ وَيَا ذَا الْقُوَّةِ الْمَتِينَ وَيَا رَاحِمَ الْمَسَاكِينَ وَيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
Yaa awwalal awwaliin wa yaa aakhirol aakhiriina wa yaa dzal quwwatil matiin wa roohimal masakiin wa yaa arhamar roohimiin.
"Wahai Yang Maha Awal di antara mereka yang awal, wahai Yang Maha Akhir di antara mereka yang akhir, wahai Yang Memiliki Kekuatan, wahai Yang Menyayangi orang-orang miskin, wahai Yang Maha Pengasih di antara mereka yang pengasih."
Usai mendapat nasehat dari ayahnya, Fatimah bergegas pulang. Sesampainya dirumah, sang suami lalu mengajukan pertanyaan, "Apa yang engkau dapat wahai istriku?"
Fatimah menjawab, "Aku pergi dari sisimu untuk dunia dan aku sekarang kembali kepadamu dengan akhirat."
Ali bin Abi Thalib berkata, "Sungguh baik harimu, sungguh baik harimu."
Begitulah sekelumit lika liku rumah tangga Ali dan Fatimah, sangat jauh dari kata mewah.
(BZH)