[PORTAL-ISLAM.ID] Selain narkoba, perdagangan manusia dan terorisme, kejahatan luar biasa paling mencengkram bangsa adalah korupsi.
Korupsi telah lama masuk dalam kejahatan yang diklasifikasikan sebagai extra ordinary crime, karena akibat yang ditimbulkan sedemikian besar bagi kehidupan manusia.
Perilaku korup di negeri ini makin lama seolah menjadi budaya yang berpotensi destruktif, perusak, yang sangat kejam bagi tatanan ekonomi dan moral bangsa. Korupsi sudah menjadi penyakit kronis dalam tubuh negeri ini, yang mengharuskan adanya penanganan serius terutama oleh negara.
Namun kita sebagai anak bangsa yang berusaha berkomitmen untuk memerangi masalah korupsi ternyata masih harus mengurut dada menyaksikan betapa pemerintah dan partai koalisi justru menyetujui munculnya kesepakatan bersama dalam merevisi UU KPK di parlemen.
Sejak awal publik telah menduga bahwa revisi UU KPK akan berimplikasi pada melemahnya kekuatan KPK dalam menangani kasus korupsi.
Sebenarnya upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan mengunakan berbagai cara. Salah satunya berupa punishment terhadap pelaku dengan memperberat hukuman, namun ternyata malah hampir setiap hari kita masih saja disuguhkan dengan berita seputar kasus korupsi.
Bahkan akhir-akhir ini muncul korupsi di beberapa lembaga resmi seperti misalnya kasus OTT yang dilakukan oleh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), atau kasus Jiwasraya dan Asabri yang mengakibatkan kerugian puluhan triliun.
Hal ini seakan menjadi paradoks disaat negara dipimpin dengan wacana visi penguatan KPK tapi realitanya justru berbanding terbalik. Ini menunjukan bahwa komitmen untuk pemberantasan korupsi belum sepenuhnya diimplementasikan secara faktual.
Mari kita menengok data yang dirilis KPK pada 16 Agustus 2018 lalu yang menyatakan bahwa sepanjang 2004 - Agustus 2018 terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang diantaranya berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, bupati dan walikota yang notabene hampir seluruhnya berasal dari partai politik.
Bahkan tren penanganan kasus korupsi mulai dari tahun 2015 sampai pada tahun 2018 mengalami kenaikan yang cukup pesat, hal tersebut sesuai dengan data yang dipublikasi oleh ICW sebagai berikut:
Sumber Data: ICW
Data di atas menunjukan bahwa masalah korupsi lima tahun terakhir mengalami tren kenaikan yang sangat signifikan, bahkan ada lompatan kenaikan dua kali lipat kasus korupsi mulai tahun 2014 sampai 2018.
Padahal kita semua melihat betapa besar ekspektasi masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi agar korupsi bisa diberantas di negeri ini. Bahkan musisi Slank juga ikut berkampanye untuk memenangkan Jokowi dengan harapan masalah korupsi bisa dituntaskan. Namun realitas malah berbicara sebaliknya.
Selain data di atas, tahun 2014 sebelumnya ICW juga merilis data tentang index korupsi yang terjadi pada partai politik, yang menggunakan model peringkat bagi parpol yang kadernya terbanyak melakukan korupsi.
Index itu menunjukkan bahwa peringkat pertama diduduki oleh PDIP, disusul PAN, GOLKAR, PKB dan terakhir PPP. Data tersebut membuktikan bahwa adanya hubungan kausalitas antara korupsi dengan partai politik. Semakin lemah fungsi pengawasan dan pembinaan partai terhadap kadernya, maka akan semakin tinggi pula kerugian negara yang dilakukan oleh koruptor yang berasal dari partai politik.
Dan selanjutnya saya ingin mengajak anda untuk melihat perbedaan yang muncul antara kepemimpinan Presiden SBY dan Presiden Jokowi dalam hal keberpihakan dan komitmen terhadap lembaga KPK.
Di era SBY menjadi presiden, sangat jelas keberpihakan negara kepada KPK yang nampak baik dalam kasus cicak buaya maupun kebijakan yang lainnya seperti terbitnya PP No 99/2012 yang memperketat pemberian remisi untuk kasus korupsi.
Sedangkan di era Presiden Jokowi justru mendukung revisi UU KPK tersebut.
Untuk itu selayaknya bila kita sebagai masyarakat memberi apresiasi pada presiden SBY yang serius dan fair dalam menangani kasus korupsi di negeri ini. SBY menunjukkan komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih.
Instruksinya jelas bahwa semua kader Partai Demokrat atau menteri yang terlibat dengan KPK tidak satupun diberikan pembelaan apalagi perlindungan, SBY memberikan pelajaran secara tegas dan fair bahwa korupsi adalah musuh kita bersama yang harus kita lawan.
Dari sini bisa kita artikan bahwa ada keselarasan yang kuat antara visi dan kebijakan yang diambil oleh Presiden SBY. Meski tentu belum bisa dibilang sempurna, namun itikad baik dan fair dalam memberantas korupsi sudah ditunjukkan secara terang oleh SBY.
Semoga sikap tersebut bisa menjadi tauladan bagi pemimpin-pemimpin negeri ini selanjutnya.
Untuk itu mari kita dukung sepenuhnya lembaga KPK agar tetap kuat dan confident dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi tanpa tebang pilih, sehingga negeri ini bisa bebas dari korupsi.
Penulis: Jemmy Setiawan