Oleh: Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (Tokoh Militer Indonesia)
TENTARA musuh memasuki sebuah desa. Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.
Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi.
Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.
Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini.?”
Ia menjawab: “Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan.”
Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini.
Mereka kawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda..?”
Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak. Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando.
Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.
Beginilah keadaan kita saat ini, orang-orang yang terlanjur rusak. Mereka mencela, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten menegakkan kebenaran, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik.
Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidakberdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata.
Sebelum terlambat, pastikan kita berani berpihak kepada KEBENARAN.[]
*Foto: Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri bersama Australian Major-General Peter Cosgrove