Korban Virus Kontekstual
Nggak habis-habis keluarga "kontekstual" bikin ulah, kali ini lewat pernyataan, "Karena kita dilarang oleh agama kita mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi", haduh.
Alasannya, karena sekarang nggak ada lagi Nabi yang bisa memutuskan sesuai dengan kehendak Allah. Jadi yang perlu adalah negara Islami bukan negara Islam.
Jadi gini, kita sepakat bahwa nggak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad, hanya saja mungkin dia sengaja lupa, bahwa Nabi sangat lengkap mencontohkan sunnahnya.
Mulai dari masuk kamar mandi, tidur, makan, semua itu dicontohkan Nabi, mengatakan Nabi nggak ninggalin kita semua aturan hidup bernegara, itu meremehkan banget.
Kalau gitu, dipikir Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali dapet ilmu bernegara dari mana? Tentu semua berdasar Nabi, maka banyak sekali buku tentang pemerintahan ditulis.
Memang, nggak semua perbuatan Nabi boleh dicontoh, ada yang haram, seperti puasa wishal, menikah lebih dari 4 istri. Tapi sebagian besar diikuti, termasuk cara memutuskan hal.
Karena itulah ada kitab Ahkamush Sulthaniyyah misalnya, yang membahas bagaimana keputusan Allah dan Rasul dalam urusan pemerintahan dan negara.
Mengikuti langkah Rasulullah itu perintah Allah, jadi nggak bisa alasan "Rasul itu ma'shum, kita penuh dosa, jadi kita nggak boleh (haram) ngikuti sistem Rasul", aneh.
Tentang Islam dan Islami, ini bahayanya tafsir kontekstual dengan ilmu "yang penting" itu. Lalu berkata, "Gak perlu Islam, yang penting Islami", ini masalah besar.
Khawatir banget saya kalau ada yang bilang "Nggak perlu negara Islam, tapi negara islami, seperti NZ dan Jepang". Ini pernyataan sangat berbahaya.
Besok-besok bisa jadi, kita nggak perlu lagi Islam, tapi islami, seperti orang NZ dan orang Jepang. Inilah de-Islamisasi, de-sakralisasi Islam, nggak perlu Islam, yang penting Islami.
Duh Gusti, lindungi kami dari menganggap remeh Rasul dan agama-Mu.
(By Felix Siauw)
Sumber: IG