[PORTAL-ISLAM.ID] Setelah ramai jadi figur terdepan anti radikalisme, pak Menag langsung menggebrak. Cadar dan celana cingkrang menjadi sasaran pertama dari isu dan kebijakan. Lanjut dengan langkah pemberangusan kurikulum bermuatan materi jihad dan khilafah. Kemudian ramai soal madrasah berbahasa mandarin, di samping bahasa asing lain. Publik sedang peka urusan China baik tenaga kerja maupun pelanggaran Natuna. Menag kok begini.
Mutakhir adalah menyalahkan pemahaman Islam di Aceh yang tidak ada bioskop dengan merujuk pada kota Jeddah. Arab Saudi kini memiliki kebijakan membolehkan keberadaan bioskop. Serangan terarah ke Aceh. Lalu apa yang salah dengan pemahaman Islam di Aceh ? Adalah hak suatu daerah ada atau tiada bioskop, apalagi sebagai Daerah Istimewa. Membandingkan dengan Jeddah sebenarnya tidak proporsional meski Saudi Arabia memang baru sekarang mengambil “open policy” seperti itu.
Jeddah bukan “forbidden city” (kota terlarang) agama non muslim pun ada, apalagi sekedar bioskop. Tentu berbeda dengan Mekkah atau Madinah. Di dua kota “haramain” ini tidak ada bioskop. Hiburan pun terbatas untuk menjaga aspek keagamaannya. Coba pak Menag datanglah ke Mekkah atau ke Madinah pasti tidak akan berkomentar sompral menyalahkan Islam Aceh. Bukankah spirit Aceh itu untuk menjadi “Serambi Mekkah”?
Pak Menteri Fachrul Razi memang sejak pengangkatannya dinilai kontroversial. NU terkesan kesal dengan kebijakan Jokowi mengangkat Menteri Agama yang tidak merepresentasi NU. Berbasis TNI dengan tugas utama menghadapi ” radikalisme” dan “intoleransi”. Arah pada umat Islam sulit untuk diterima. Terlalu tendensius dan tidak simpatik. Agama merupakan masalah yang peka dan jika dipaksakan pemahaman seragam maka bisa berujung pada antipati dan friksi.
Serangan soal cingrang, jihad, khilafah, dan bioskop jelas kontraproduktif. Kasarnya cuma cari gara gara. Meruntuhkan fanatisme beragama sama saja dengan menghancurkan agama itu sendiri. Menteri Agama seharusnya menjadi benteng pemelihara agama bukan sebaliknya pengobok obok agama. Bahwa ada oknum yang menyimpang sebaiknya dilokalisasi pada oknum tersebut, bila perlu dihukum. Generalisasi pemahaman atau interpretasi adakah otoritarian. Ironi menuduh orang intoleran atau radikal padahal dirinyalah yang otoriter dan radikal tersebut.
Baiknya pak Menag agak sabar dan toleran. Jangan gampang menyalahkan. Biar saja rakyat Aceh di kota tertentu melarang ada bioskop toh tujuannya baik yakni menjaga moral bangsa. Janganlah moral pemimpin buruk yang dicontoh seperti seorang Gubernur yang menantang apa salahnya memiliki kegemaran nonton video porno. Salahnya sudah jelas tak tahu malu. Jika makan duit haram ratusan dollar pun tidak akan malu.
Pak Menteri harus lebih menyosialisasikan dua budaya bagi pembangunan karakter bangsa yaitu budaya malu (shame culuture) dan budaya dosa (sin culture). Dua hal yang mendesak yang dibutuhkan saat ini. Krisis dan kehancuran moral bangsa Indonesia karena para pemimpin telah tergerus rasa malu dan rasa dosanya.
Ini tugas utama Menteri Agama. Bukan sibuk di urusan yang justru mengganggu stabilitas umat beragama. Koreksi diri lebih baik. Semoga tidak ada lagi ke depan yang menyatakan “Menag kok begini”.
Penulis: M. Rizal Fadillah