I R A N / P E R S I A
Ini tulisan saya 365 hari lalu. Pas situasinya tapi hari ini malah lebih memanas eskalasinya gegara seorang aktor penting militer Iran tewas oleh drone Amerika Serikat di Baghdad.
Ada apa dan mengapa Iran penting?
Sebelum pertanyaan ini terjawab, saya mendapati satu kronik penting dalam sirah nabawiyah, yakni ketika Rasulullah menemui Bani Syaiban. Bersama Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, Baginda Nabi berjalan temui banyak kabilah tapi hasilnya nihil untuk menerima dakwah Islam. Sampailah ke Bani Syaiban.
Bani Syaiban rupanya tertarik untuk mendengarkan dakwah Nabi, dan bersiap membela keamanan beliau. Hanya saja, mereka terikat perjanjian dengan Kisra, penguasa Persia. Dan pemuka bani ini yang juga sosok panglima, Matsna bin Haritshah, berujar, "Kami dilarang membicarakan hal yang baru, dan dilarang membantu orang yang membawa ajaran baru. Saya berpendapat bahwasanya urusan yang engkau dakwahkan kepada kami ini, wahai Saudara Quraisy, merupakan hal yang dibenci Raja."
Ringkasnya, Bani Syaiban takut dengan Persia apabila menjadi pelindung Nabi Muhammad. Mereka sadar diri dengan kekuatannya, sehingga memilih taat pada perjanjian bersama Kisra. Tapi, ketakutan itu hilang sama sekali akhirnya. Ya, dan ini menariknya, kala mereka berislam nanti, justru merekalah yang terdepan dan paling gagah menaklukkan Persia, sejak era Khalifah Abu Bakar.
Nah, fungsi strategis Persia atau Iran hari ini, setahun saya ungkai berikut. Sesuai syarah Ustad Budi Ashar dan telaah atas karya Dr Majid Irsan Kaylani.
Untuk menguasai Baitul Maqdis, pegang erat lebih dulu Damaskus, Suriah. Setelah itu, kendalikan Mesir. Bila Damaskus dan Mesir dipegang, tinggal tunggu menghitung purnama Baitul Maqdis direbut. Inspirasi dari Yusuf Ibn Najmudin alias Shalahuddin al-Ayyubi ini tentang pelajaran geopolitik. Kiranya masih berlaku hari ini atau bahkan akhir zaman, siapa pun aktor politik berikut transformasi sepanjang masanya.
Maka, sesiapa yang peduli pada urusan dua negeri sayap burung itu (warna hijau di peta atas -red), dialah yang bersiap memegang kepala burungnya: Baitul Maqdis. Ada yang berbau terbuka dengan sekian akrobat yang membingungkan para awam; misalnya anak keturunan Seljuk: Turki. Ada juga yang mendakwa diri membantu dalam senyap dengan guyuran uang dan doa; dialah Bani Saud dan penguasa kroni di sekitarnya. Bagaimanapun modus vivendi mencintai Baitul Maqdis, itu sebuah ikhtiar menjayakan agama ini.
Dan kini ketegaran mereka diuji dalam riak mulai berdarah di Bumi Persia. Sebuah guncangan yang bikin ketir-ketir penguasa Arab, terutama Saudi. Akankah riak itu hanya dinamika ringan, hanya interupsi sesaat, atau malah bakal hadirkan revolusi besar usai rezim Khomeini mengasas Republik Islam Iran?
Sebelum beranjak lebih jauh, mengenali "lawan" mestilah niscaya. Serupa Shalahuddin yang Mesti bertaqiyyah di tengah kekuasaan daulah Ubaidiyah Mesir masa ltu. Harus pandai membaca "penguasa" pro-Teheran berikut dinamikanya agar bisa jeli menapaki garis perjuangan kurun mendatang tatkala Baitul Maqdis dibebaskan.
Pada titik geliat di jantung kekuasaan para mullah kini, kesempatan membuka minda negeri tersebut dengan membaca. Termasuk menelusuri jejak moyang mereka kala mengabdi pada daulah sunni semisal Abbasiyah. Jasa baik mereka dalam keilmuan mesti dipetik dengan tak mengabaikan perilaku kalangan sektenya di negeri modern bernama Iran atau patronnya. Memahami kebanggaan mereka pada para moyangnya penting dalam kerangka membaca geopolitik semasa kita: negeri yang pengaruhnya bercengkrama di Suriah dan sekitarnya serta relatif berkarib dengan tiran Mesir kini. []
Oleh: Yusuf Maulana