Saya percaya bahwa masalah Jakarta; khususnya banjir dan macet lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden daripada gubernur...tapi kalau keduanya bersatu tentu lebih cepat lagi selesainya.
Sejak awal, kita membayangkan adanya perencanaan yang terintegrasi pada 3 propinsi dengan pemerintah pusat: Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Tanpa itu, kita akan terjebak saling menyalahkan sebab 3 propinsi ini adalah kawasan yang saling berketergantungan satu sama lain.
Bahkan untuk menopang 3 propinsi ini, seharusnya Lampung mulai diikutkan salam perencanaan kawasan. Dulu zaman pak SBY ada yg ingin bikin jembatan selat Sunda sekitar 30 KM, banyak yg gak percaya tapi sekarang jembatan penghubung Makau-Zuhai-Hongkong sudah sepanjang 55 KM.
Propinsi dan kota di Indonesia memang seharusnya direncanakan integrasinya secara fisik juga selain integrasi konsep kenegaraan kita. Dalam kerangka itu, presiden dan DPR bisa membuat regulasi yang memaksa kawasan tertentu untuk mengikuti konsep besar integrasi kawan tersebut.
Jawa dan Sumatra seharusnya disambung agar pergerakan penduduk ke luar Jawa khususnya ke pulau Sumatera yang lebih besar dan lebih kosong dapat terjadi secara mudah. Disertai pembangunan transportasi sampai ke Sabang maka mobilitas ke barat akan semakin cepat dan mudah.
Ide memindahkan ibukota ke pulau Kalimantan juga harus diletakkan dalam kerangka integrasi kawasan. Dan hanya dengan konsep itu pemindahan itu relevan. Sementara itu karena infrastrukturnya belum memadai, dikhawatirkan pemindahan itu akan kurang efektif menjawab kebutuhan.
Ini baru bicara bagian Barat dan Tengah, belum bicara Timur. Papua memiliki persoalan yang lebih pelik. Diluar masalah politik dan integrasi, dalam ekonomi, sumber kemiskinannya bukan banjir tapi ketimpangan di banyak sektor; pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berusaha.
Kita harus menghidupkan jalur Pasifik, Biak harus kembali dibuka sbg jalur penerbangan internasional seperti zaman pak Harto dulu. Negara2 Pasifik sedang berkembang dan Papua adalah salah satu pulau terbesar di pasifik selatan bersama Australia dan NewZealand. Papua bukan Asia.
Tapi kita lagi bicara banjir, dan banjir seperti bencana alam lainnya, adalah penyebab kemiskinan yang instan. Manusia bergerak seperti semut, di mana ada harapan dan kehidupan manusia bergerak ke sana. Kepadatan penduduk adalah indikator nyata kegagalan menata harapan.
Harapan Indonesia sampai hari ini masih nampak menumpuk di Jawa. Di Jawa dan Jakarta khususnya, ada kekayaan ekonomi, ada kemajuan pendidikan, ada pergaulan global, ada karier politik dan pemerintahan dan secara umum ada pengaruh bagi masa depan pribadi dan kelompok.
Sambil membantu para korban, saya menyarankan kepada bapak presiden untuk menjadikan momen ini untuk mengalang persatuan. Ini sama dengan konsep integrasi kawasan harus dimulai dengan sila ke-3 Pancasila kita. Kita harus menghentikan perpecahan yg sudah jadi kenyataan.
Para gubernur harus sadar bahwa presiden adalah kekuatan yang paling efektif untuk membangun propinsi dan seluruh wilayah daerah kita. Jadi jangan mau diajak bertengkar dengan presiden gak ada gunanya. Hasilnya hanya kesengsaraan rakyat. Ini waktu mengubur ego. Bersatu.
Semoga musibah besar ini dapat menjadi momentum kebersamaan. Sambil menemukan Ilham dan petunjuk untuk menjawab tantangan masa depan bangsa INDONESIA. Menuju kekuatan yang memberi harapan pada bangsanya dan pada ummat manusia.
Mari kita Gelorakan Semangat Indonesia Raya!
(Twit @Fahrihamzah 02/01/2020)
Saya juga percaya bahwa masalah Jakarta; khususnya banjir dan macet lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden daripada gubernur...tapi kalau keduanya bersatu tentu lebih cepat lagi selesainya. Semoga.— #2020ArahBaru (@Fahrihamzah) January 1, 2020