Baswedan dan Seni


Baswedan dan Seni

Bila ada persidangan parlemen di Jakarta, Abdul Rahman (AR) Baswedan lebih suka tinggal sekamar di hotel yang disediakan panitia dengan politikus dari kalangan komunis. Ini kebiasaan yang tak lazim di kalangan politikus Masyumi, partai asal Baswedan. Jamaknya politikus Masyumi memilih teman sesama partai atau setidaknya sesama partai Islam.

Begitu juga ketika memilih surat kabar. Baswedan mendahulukan "Harian Rakyat", koran Partai Komunis Indonesia.

Bukan tanpa maksud bila A.R. Baswedan melakukan dua tindakan "aneh" tersebut. Hasil berapatan dalam bergaul dan membaca, Baswedan paham betul bagaimana partai komunis melakukan pengorganisasian dan pengaderan.

Disebutkan dalam "Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan" karya Suratmin dan Didi Kwartanada (2014):

Berkat kesenangannya membaca majalah-majalah gerakan komunis, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta pendekatannya dalam bergaul dengan tokoh-tokoh PNI dan Komunis, dapat dia ketahui dengan jelas bahwa komunis sangat memperhatikan angkatan muda, juga memperhatikan soal kebudayaan, terbukti dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-nya. Hal-hal seperti itu, menurut AR Baswedan, kurang mendapat perhatian dari Masyumi.

Dengan pemahamannya yang mendalam tentang gerakan komunis dan bahayanya, sebagai anggota partai, ia selalu berpikir dan mencari jalan untuk membuat tandingannya. Untuk itu, A.R. Baswedan berusaha mendirikan suatu Badan Peminat Sastra Islam. Atas desakannya, almarhum Moh. Diponegoro bersedia menjadi ketua. Badan inilah yang kemudian menerbitkan majalah dengan nama "Al Misykah". Nama itu diberikan A.R. Baswedan yang mengandung pengertian "lampu" dari sebuah ayat Al-Quran.

A.R. Baswedan tidak mau namanya disebut-sebut. Hanya Drs. Rasyid, anaknya yang waktu itu mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII), menjadi pemegang administrasinya. Dia tidak mau disebut-sebut karena badan itu bukan menjadi bagian dari Masyumi, melainkan dengan maksud mengimbangi kegiatan Lekra.

Usaha membina dan mengembangkan badan itu merupakan salah satu jawaban yang praktis dalam menghadapi gerakan komunis. Sesudah lahirnya badan itu, kebetulan dilangsungkan Kongres Kebudayaan Indonesia di Solo dan pengurus Badan Peminat Sastra Islam diajak ikut serta. (Kutipan halaman 171-172).

Masih dari buku karya Suratmin dan Didi Kwartanada, A.R. Baswedan memang konsisten memperjuangkan seni sebagai media perjuangan ataupun dakwah Islam. Meski sering berbeda pendapat dengan kalangan pemuka umat, Baswedan memilih terus melanjutkan agendanya. Salah satunya yang kemudian tercatat di tinta sejarah perjuangan dakwah seni adalah pembentukan Teater Muslim. Teater ini pentas di beberapa kota dan mendapatkan sambutan hangat, seturut kontroversi yang juga hadir akibat kritikan dari sebagian Muslimin.

Perhatian Baswedan pada seni juga konsisten ketika ia memberikan ruang bagi kalangan muda. Ia tampaknya belajar dari cara Lekra yang memberikan perhatian besar pada kalangan muda.

Dituliskan pula oleh Suratmin dan Didi Kwartanada tentang persuaan Baswedan dengan Rendra dan Emha Ainun Nadjib:

A.R. Baswedan juga bertemu dengan banyak seniman, misalnya ketika Rendra terkagum-kagum dengan Qasidah Barzanji. Qasidah Barzanji lalu diterjemahkan ke dalam bahasa lndonesia. Waktu itu Rendra yang (semula) non-Muslim menikah dengan Sitoresmi yang beragama Islam sehingga menjadi persoalan.

Qasidah Barzanji sebenarnya “makanan" A.R. Baswedan sewaktu kecil. Dengan penguasaan bahasa Arab yang kuat, ia menjelaskan bagaimana Qasidah Barzanji itu. Bagaimana munculnya dan dari mana Qasidah Barzanji itu? Ternyata, ia bukan berasal dari Arab, tetapi dari Lebanon. Jadi, yang mengembangkan itu sastrawan Lebanon. Menurut A.R. Baswedan, pemujaan kepada Nabi bukanlah masalah, sejauh tidak menjadi kultus terhadap Nabi.

Jalannya diskusi itu masih teringat jelas oleh Samhari, putra bungsu Baswedan, karena pada waktu itu diadakan di Taman Yuwono 19, Yogyakarta, dari pagi sampai siang. Yang ikut dalam diskusi itu antara lain W.S. Rendra, Choirul Umam (kemudian menjadi sutradara film), dan A.R. Baswedan.

Pada waktu Emha Ainun Nadjib memulai karier di Yogyakarta, ia dianggap “anak nakal” karena sajak-sajaknya yang mbeling. A.R. Baswedan pada waktu itu memegang kolom di harian "Mercusuar", kemudian menjadi "Masa Kini", dan harian itu milik Muhammadiyah.

A.R. Baswedan mengasuh kolom bernama “Mercusuana”. Di situ ia membela Emha Ainun Nadjib. Dikatakannya bahwa Emha Ainun Nadjib bukan “nakal", melainkan “anak pintar” yang sedang berproses saja. Yang penting ditemani, dibimbing, dan diluruskan apabila dia tidak lurus, tetapi jangan dimusuhi karena dia punya potensi yang besar. jadi, perhatiannya terhadap seni besar sekali. (Kutipan halaman 189-190).

Demikianlah, apa yang dibaca dan difirasati Baswedan terbukti di kemudian hari. Persentuhan seni bersama kalangan muda berhasil dirajut A.R. Baswedan, dan ini dimungkinkan dari sesosok yang berpikir terbuka berwawasan kosmopolit.

Oleh: Yusuf Maulana

Baca juga :