[PORTAL-ISLAM.ID] Selat Hormuz adalah salah satu jalur laut terpenting di dunia, dimana setiap harinya dilewati oleh sekitar 17 juta barel minyak, atau sekitar 40 persen dari total perdagangan minyak di dunia. Makanya, selat ini sangat penting bagi semua pihak, tidak hanya negara di sekitar selat itu, yaitu Oman, Iran, dan UEA (Uni Emirat Arab/UAE), tetapi juga bagi negara-negara besar yang berkepentingan pada minyak Teluk, seperti Tiongkok, India, AS dan negara-negara Eropa lainnya.
Banyak pengamat meyakini, Selat Hormuz akan menjadi medan perang selanjutnya di Timur Tengah, mengingat eskalasi ketegangan yang semakin meningkat di wilayah tersebut. Kalau itu terjadi, ini bukanlah yang pertama, tapi akan jadi yang terbesar. 1984 pernah terjadi Tanker War antara Irak dengan Iran; 1988 terjadi perang “Operation Praying Mantis” antara Iran dengan AS; 2008 dikenal dengan insiden U.S.–Iranian naval dispute; 2011 hal sama terjadi lagi yang melibatkan Iran vs AS, Inggris, Perancis dan Australia; dan terakhir tahun 2019 yang dikenal dengan insiden pembajakan kapal tanker yang berakhir dengan penembakan pesawat pengintai “AS Northrop Grumman RQ-4 Global Hawk” oleh Garda Revolusi Iran di Selat Hormuz.
Menyikapi insiden pembegalan kapal tanker antara Iran dan Inggris, maka pada 7 November 2019 lalu, AS luncurkan operasi “Sentinel” dalam bingkai “International Alliance for Protection of Maritime Navigation” yang bertugas untuk memberikan pengawalan ke kapal-kapal komersial yang melewati perairan Teluk, Selat Hormuz, Laut Oman dan Selat Bab El-Mandeb di Laut Merah. Aliansi ini melibatkan sejumlah negara seperti AS, Inggris, Arab Saudi, Israel, Australia dan Bahrain.
Aliansi ini dapat dikatakan gagal, karena awalnya AS berharap negara-negara yang berkepentingan seperti Perancis, Tiongkok, India, Jepang dan Turki akan bergabung, mengingat negara-negara itu memiliki armada angkatan laut yang diperhitungkan di dunia. Ternyata yang setia hanya Bahrain yang cuma memiliki 1 frigates, dan Israel yang memiliki 4 corvettes. Itu jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan Perancis yang memiliki 4 aircraft carrier, atau Mesir dengan 2 aircraft carrier, dan mungkin Iran yang memiliki 34 submarines, 6 frigates dan 88 patrol vessel. Meskipun Australia dan Israel tidak memberikan bantuan militer secara langsung, cukup dengan dukungan moril.
Anehnya, UEA sendiri yang berkepentingan tidak ikutan, hal ini menunjukkan ada misi terselubung dari aliansi tersebut, it’s not merely providing escorts to commercial vessels passing through the Gulf waters (itu tidak sekedar menyediakan pengawalan ke kapal-kapal komersial yang melewati perairan Teluk). Tiongkok dan Rusia memahaminya.
Suatu ketika, Presiden Vladimir Putin pernah mengatakan, “Situasi di dunia sudah berubah, AS tidak lagi sendiri. Keputusan penting di dunia tidak bisa diambil tanpa melibatkan Tiongkok dan India”. Artinya, sudah ada negara lain yang menyaingi AS yang selama ini berperan sebagai Polisi Dunia.
Menyikapi munculnya aliansi “International Alliance for Protection of Maritime Navigation”, Rusia, Tiongkok dan Iran mengumumkan akan diadakannya latihan militer bersama di Laut India dekat Teluk Persia pada tanggal 27 Desember mendatang.
Secara politik, Latihan Militer tersebut antara 3 negara “pembangkang” di depan sejumlah pangkalan militer AS -termasuk United States Fifth Fleet (Armada Kelima Angkatan Laut Amerika Serikat) yang sudah 30 tahun nongkrong disana- bukanlah hal yang baik.
Secara militer, dipahami bahwa Rusia-Tiongkok-Iran menentang semua pihak yang mencoba memonopoli pengaruh dan kekuasaan di Selat Hormuz.
Ah, semuanya mengingatkan pada cerita di novel Ghost Fleet!
(By Saief Alemdar)
[Video - Scary U.S. Navy 5th Fleet - How Big is the Fifth Fleet? US Navy Power 2019]