[PORTAL-ISLAM.ID] Mesut Özil menjadi perbincangan atas komentarnya mengenai muslim Uighur.
"(Di China) Quran dibakar, masjid ditutup, sekolah-sekolah teologi Islam, madrasah dilarang, cendekiawan agama dibunuh satu per satu. Terlepas dari semua ini, Muslim tetap diam," kata Özil.
Arsenal player Mesut Özil speaks out for the Uyghurs
— IlmFeed (@IlmFeed) December 13, 2019
"O Allah, help our brothers and sisters in East Turkestan" pic.twitter.com/pHkE2Gudk7
Komentarnya mendapatkan banyak serangan dari netizen China. Atas serangan itu, banyak pembelaan pada Özil mengenai arti solidaritas muslim.
Perkataan Özil tidak membawa negara, tidak membawa klub sepakbola Arsenal dimana ia bermain saat ini. Perkataannya adalah penilaian pribadi yang mengambarkan keresahan seorang muslim atas nasib saudaranya, sesama muslim.
Özil yang berkiprah di sepakbola Inggris, dinegara non muslim berani mengungkapkan pernyataan atas derita Muslim Uighur. Sedikitpun ia tidak takut akan kecaman atau pemboikotan atas dirinya. Özil hanya muslim biasa yang memiliki empati yang luar biasa. Dirinya bukan ulama, hanya umat biasa.
Apa yang Özil lakukan seperti menampar para tokoh-tokoh ulama di negeri ini.
Seorang ulama, seharusnya memiliki sikap kepedulian yang tinggi. Ulama harusnya menggerakkan simpati umat dengan tausyiah agamanya untuk mengajak peduli berdasarkan persaudaraan muslim.
"Satu umat teraniaya, adalah derita umat seluruhnya." Harusnya seperti itu.
Apa jadinya jika ulama malah menjadi pihak yang menutupi itu semua? Dia akan menjadi pelindung kebiadaban, dia jadikan jabatan ulama sebagai corong mengatakan sebaliknya. Sungguh disayangkan, ketika umat harusnya kritis berbicara, tapi harus dibungkam demi kepentingan lain dibelakang.
Kata-kata "samina wa athona" benar-benar membuat ulama jumawa atas jabatanya. Tunduk itu pada hal yang berkaitan dengan ajaran agama, saat ini diperluas dengan perlindungan pada kepentingan golongannya, samina wa athona bisa menjadi kata-kata yang berbahaya.
Benar kata orang tua dulu: "Untuk menguji seseorang, berikan ia uang..".
Melihat perubahan seseorang adalah dengan uang. Ketika ia bertahan atas apa yang ia nilai, maka uang bukanlah godaan baginya. Namun saat ia berbalik dalam penilaian selama ini, ia sudah menghamba pada materi.
80% dari 275 juta jiwa penduduk Indonesia adalah Muslim. Dari jumlah itu, hanya 3 komponen yang dianggap mewakili umat untuk berbicara. Ketika 3 komponen itu satu suara atas nasib muslim Uighur, maka dianggap selesai tanpa perlu mendengar lagi.
Sangat mudah bagi pihak-pihak yang ingin menguasai negeri ini mendapatkan pembenaran atas kesalahan yang mereka lakukan. Dekati 3 komponen itu, dan buat mereka satu suara atas cara dan keinginan, untuk mengatur dan menguasai negeri ini.
Itulah yang dilakukan China saat mengundang 3 komponen itu ke negeri mereka dan melihat bahwa semuanya baik-baik saja.
Dan anehnya, 3 komponen yang mewakili umat Islam Indonesia seperti tercucuk hidungnya dan berkata semua berjalan biasa saja. Entah apa yang merasukimu...
Dunia sudah bersikap, tokoh negara lain sudah menyatakan kritik keras pada pemerintah China. Namun negara ini dengan tokoh ulama rujukannya justru berkata lain.
Benar kata Özil,
"...terlepas dari semua itu, Muslim tetap diam".
Sebagai muslim, saya merasakan apa yang Özil inginkan. Sebagai warga sebuah negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, saya malu mengakui bahwa disinilah asal saya berada.
Özil adalah kita, dan Ulama yang berkata sebaliknya tentang Muslim uighur, bukanlah saudara kita.
By Setiawan Budi
(Sumber: fb penulis)