[PORTAL-ISLAM.ID] Wall Street Journal, salah-satu media internasional berpengaruh di dunia, merilis laporan yang sangat serius–asumsi kalian mau menganggapnya serius. Mereka rilis Rabu 11/12, “How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps” adalah judul artikel mereka.
Apa isinya? Simpel: bahwa China telah ‘merayu’ petinggi-petinggi, ulama-ulama organisasi agama Islam di Indonesia agar mengubah opini mereka terhadap masalah kamp konsentrasi Uighur, pelanggaran hak asasi, dan kejahatan kemanusiaan lainnya di sana.
Beijing mengundang puluhan tokoh untuk berkunjung ke sana, tentu ini bukan ‘halan-halan’, plesiran biasa, ini halan-halan politis. Sepulang dari sana, terdapat perbedaan yang sangat signifikan atas pernyataan kasus Uighur. Sebelumnya galak, sesudahnya, “Wahai umat Islam Indonesia, jangan terlalu percaya atas media yang meliput tentang Uighur”. Kalian bisa baca artikelnya sendiri, saya lagi malas nulis panjang-panjang, linknya ada di:
https://www.wsj.com/articles/how-china-persuaded-one-muslim-nation-to-keep-silent-on-xinjiang-camps-11576090976
Artikel ini cukup detail, bahkan menulis soal honor per diem untuk influencer, dan strategi menakjubkan Beijing ‘merayu’ orang-orang ini. Cukup menohok memang. Tapi itu bukan urusan saya. Silakan yg mau nuntut WSJ jika isi tulisan itu salah. Juga silakan yang mau bilang WSJ ini sampah, berita bohong saja, dll. Itu jamak saja di jaman now. Netizen bebas berkomentar.
Lantas apa yang ingin saya tulis?
1. Ayolah, siapapun kalian, besok lusa, jika diajak halan-halan, mbok ya pastikan kita hati-hati sedikit. Lihat dari sisi etika, moralitas, dan harga diri. Apalagi jika itu kasus yang sangat serius. Kalian memilih jadi kritikus buku saja misalnya, maka sangat tidak etis, jika kalian menerima buku dari penulis dan penerbit. Bagaimana kritikan kalian akan valid dan obyektif, bukunya saja dikasih alias hadiah. Lebih baik beli sendiri bukunya, baru bisa garang itu kritikan. Apalagi dalam kasus seperti Uighur ini. Berangkat sendiri ke sana dengan dana pribadi; jangan mau diajak halan-halan. Observasi sendiri, keluarkan uang sendiri. Baru opini kita nendang. Dalam kasus Uighur ini, bahkan saat kita bayar sendiri uangnya, kita mendapatkan fasilitas dan kemudahan loh.
2. Sensitif sedikitlah atas masalah-masalah seperti ini. Jika kita tidak bisa membantu rakyat Uighur atas masalah mereka, maka please, jangan pula kita recok. Hanya karena kita kebelet halan-halan ke China, ingat loh bahkan saat kesimpulan opini kita tetap mendukung rakyat Uighur, tetap saja tidak etis (sudah diundang China, dikasih kemudahan, eh tetap melawan China pula opininya); apalagi saat opini kita sebaliknya (kok mau jadi kepanjangan Beijing). Maju salah, mundur salah. Maka sebaiknya memang; sejak awal tolak saja ajakan halan-halannya.
3. Terakhir, ingat loh, Indonesia itu 350 tahun dijajah oleh Belanda. Ketahuilah, selama menjajah kita, Belanda ini selalu bilang kita itu “extremist”. Kowe orang extremist, heh. Ke Eropa sana mereka jual opini bahwa rakyat Indonesia itulah penjahatnya. Mereka malaikat sucinya. Bagaimana rasanya hati kita jika tahun 1800-an datanglah influencer-influencer jaman Kompeni naik kapal, mereka selfie selfie, mereka wefie wefie, dibayari VOC, untuk kemudian ngomong di negaranya sana, “Belanda itu ternyata baik banget. Ayo rakyat Belanda, jangan terlalu percaya berita tentang kita menjajah Indonesia. Kita itu justru sedang melatih mereka, vokasi, dll.” Gimana rasanya? Kalian tahu Pangeran Diponegoro itu dianggap teroris dulu. Masa’kita lupa sejarah bangsa sendiri sih?
Penulis: Tere Liye