[PORTAL-ISLAM.ID] Hari ini, 2 Desember 2019, gerakan 212 kembali memadati kawasan Monumen Nasional (Monas). Awalnya, gerakan 212 merupakan rangkain dari aksi Bela Islam yang dimaksudkan menuntut penyelidikan atas Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahja Purnama, yang diduga telah melakukan penistaan agama. Aksi ini pun berlanjut pada Aksi Bela Islam II pada 4 November 2016 yang menuntut pihak kepolisian untuk tidak terlalu ‘bermain-main’ dalam pengentasan kasus hukum tersebut. Aksi lebih besar pun, klaim penyelenggara jutaan, dilanjutkan pada 2 Desember 2016.
Aksi memutihkan ibu kota 2 Desember 2016 inilah yang kemudian dinamakan 212. Dari aksi ini kemudian dibentuk persaudaraan alumni (PA) 212. Ada juga gerakan ekonomi 212 dan berbagai hal lainnya. Tapi yang tak kalah penting, gerakan ini menjadi gerakan tahunan yang rutin menyelenggarakan event di Monumen Nasional (Monas) setiap tanggal 2 Desember dan mendapat sorotan dunia internasional.
Jika ada yang berpikir gerakan 212 itu adalah gerakan ‘memberangus’ Ahok, tentu tidak semata demikian. Ahok bukanlah faktor tunggal dari lahirnya aksi 212, melainkan hanya faktor pemicu. Sementara itu, faktor yang menjadi ‘gunung es’ sebenarnya adalah isu keadilan.
Pembangunan Masif, Minim Manfaat?
Bandara Kertajati Jawa Barat hingga saat ini masih belum termanfaatkan dengan maksimal. Akhirnya, bandara megah mentereng ini bak istana jin di dalam rimba, megah tapi sepi. Dengan mewahnya fasilitas dan karyawan yang tidak efektif, tentunya bandara yang diresmikan pada 24 Mei 2018 ini hanya akan menjadi beban negara. Minimnya pemasukan, tapi biaya operasional yang tinggi menjadi masalahnya.
Cerita lainnya yaitu pembangun trans Papua. Pemerintah pusat beranggapan, pembangunan jalan nasional di Papua akan mendorong ekonomi tumbuh lebih cepat di bumi cendrawasih tersebut. Akan tetapi, sebagian orang Papua justru malah khawatir. Mereka khawatir dengan adanya jalan nasional justru memudahkan mobilisasi pasukan dan pencurian kekayaan alam orang Papua. Pemerintah pusat berpikir dengan caranya. Sementara kearifan lokal tidak lagi menjadi dasar dalam pembangunan. Bagi orang Papua, “tanah adalah ibu dan sungai air susu ibu”.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X juga pernah tegas menolak pembangunan jalan tol yang ada di Kulon Progo maupun Yogyakarta. Alasannya sederhana. Menurut Sri Sultan, tol dirasa kontraproduktif dan tidak memberi dampak besar bagi perekonomian yang langsung dirasakan masyarakat.
Memang, sejak awal pemerintahan, periode pertama, pemerintahan Joko Widodo menggencarkan pembangunan sebagai salah satu bentuk keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan diklaim dilakukan dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Dari pulau terdepan dan terluar hingga ke kota-kota besar.
Pembangunan atas nama meningkatkan kesejahteraan dimasa depan itu pun menjadi mega proyek ‘ambisius’. Dari dana BPJS Ketenagakerjaan hingga dana Haji dikeruk untuk membiayainya. Utang terus ditumpuk menggunung tanpa melihat keadaan ekonomi dan daya beli masyarakat yang terus merosot. Akhirnya, pembangunan berkeadilan itu menjadi pertanyaan banyak pihak. Ekosistem kita rusak, tatanan sosial kita terganggu, dan ekonomi kita tidak bergerak, apakah ini konsep keadilan dalam pembangunan?
Hukum Bermata Sipit
Beberapa hari ini nama Luthfi menjadi perbincangan publik jagad maya. Tentunya ini bukan cerita episode baru atau lanjutan dari film kartun Jepang berjudul ‘One Piece’. Ini tentang anak sekolahan (STM) yang harus mendekam di dalam bilik tahanan dan akan segera menjalani proses sidang karena menyampaikan pendapatnya di muka umum.
Kasus Luthfi tentu langsung disandingkan dengan pemuda bermata sipit yang disinyalir beretnis Tionghoa, dengan inisial RJ, yang tempo hari menghujat Jokowi sebagai kacung, gila, dan mengancam akan menembak orang nomor satu di Indonesia itu. RJ dikabarkan tidak ditahan karena dirinya masih di bawah umur. Pihak kepolisian juga beranggapan video RJ itu dibuat hanya dengan maksud lucu-lucuan dan ketidak pahaman dengan dampak yang ditimbulkan dari ucapannya.
Ketidak adilan hukum juga diungkapkan beberapa pihak. Hukum dinilai bermata sipit bahkan menutup mata kepada kelompok yang pro pemerintah dan melotot kepada mereka yang kritis. Label radikal dan makar dengan mudah menjemput siapa saja kapan saja dan dimana saja.
Distribusi Keadilan
John Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fairness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya. Dalam pandangannya, Rawls menekankan ketidak berpihakan dalam distribusi hak dan kewajiban adalah jalan mencapai keadilan.
Dalam sudut pandang ekonomi, Rawls berpendapat setiap prang mempunyai hak untuk menikmati nilai-nilai dan sumber daya sosial dalam jumlah yang sama, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu dalam sudut pandang politik, konsepsi keadilan Rawls diformulasikan ke dalam tiga sendi utama, yaitu hak atas partisipasi politik yang sama, hak warga untuk tidak patuh, hak warga untuk menolak berdasarkan hati nurani.
Dalam tatanan sosial yang totaliter, anggota-anggota dari masyarakat bisa saja menerima dan mematuhi ketentuan yang ditetapkan. Banyak alasan, salah satunya ketakutan. Akan tetapi hal ini hanya memupuk bom waktu yang akan meledak kapan saja tanpa bisa diprediksi. Masyarakat yang terus menerus ditakuti dan memendam ketidak adilan dalam hatinya, akan berubah menjadi masyarakat yang memberontak dan sulit untuk dikendalikan.
Penulis: Munarman Said Iqbal