[PORTAL-ISLAM.ID] Saya tinggal di daerah minoritas Muslim, Papua. Sebagai yang dianggap tokoh oleh masyarakat sekitar, sering saya menerima undangan berbicara baik di forum-forum masyarakat, pemerintah atau bahkan keagamaan selain Islam.
Dalam lingkup forum keagamaan, setidaknya 1-2 kali dalam sebulan saya memenuhi undangan di Gereja (setelah ibadah Minggu) untuk berbagi pengalaman, kisah dan pemberdayaan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan yang mengundang saya kebanyakan Gereja di wilayah yang distigmakan 'tidak aman'.
Kalau boleh sombong, frekuensi saya memenuhi undangan dan berinteraksi dengan umat agama lain bahkan di tempat ibadah agama lain lebih banyak dari siapa pun yang sering 'koar-koar' merasa paling toleransi dan merasa paling Pancasila itu.
Saya membuka pembicaraan selalu dengan ucapan: "Selamat pagi/siang/sore/malam. Salam sejahtera bagi kita semua." Itu saja.
Saya tidak menggunakan ucapan salam lain seperti: Shaloom, Om swastyastu, Namo Budhaya, atau salam kebajikan.
Dan, saya tidak pernah mendapati umat yang protes atau pertanyaan kenapa saya tidak mengucapkan salam seperti yang biasa diucapkan oleh seorang pemeluk agama kepada sesama pemeluk agamanya. Hubungan kami baik-baik saja. Sangat baik bahkan.
Tidak ada ketegangan, kecurigaan, kehebohan seperti di media atau di dunia maya. Tidak ada!
Justru saya curiga, yang gencar mempermasalahkan mengenai ucapan salam, kata kafir, dan lain sebagainya ini adalah orang-orang yang sengaja membenturkan para pemeluk agama. Tidak menginginkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama yang selama ini sudah terjalin bagus di Indonesia.
Dan satu-satunya oknum yang berani berbuat demikian tentunya adalah orang yang tidak beragama.
*NB foto: Bersama sahabat dekat saya Ketua Panitia Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) ke-18 yang juga adalah Wakil Bupati Kabupaten Mimika Papua, Johannes Retob saat perjalanan pulang dari Makassar ke Timika beberapa waktu lalu setelah agenda Ummat Fest 2019 yang diselenggarakan DPP Wahdah Islamiyah.
(By Azzam Mujahid Izzulhaq)