[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Joko Widodo telah mengganti Kepala Polri yang dijabat Jenderal Tito Karnavian. Jenderal Idham Azis di-“mahkotai” untuk memimpin Polri. Perggantian Jenderal Tito sebagai Kapolri itu memang terasa sangat mengejutkan, lantaran masa pensiun Jenderal Tito yang masih cukup lama. Namun, begitulah hak prerogatif Presiden berbicara.
Menyusul perubahan kepemimpinan di tubuh Polri tersebut, wajar jika banyak pihak mendesak agar Presiden Joko Widodo juga segera melakukan perubahan kepemimpinan di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Meskipun pemilihan calon Panglima TNI tersebut merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, penting bagi Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan pandangan yang berkembang publik. Banyak pertimbangan dibalik desakan itu, diantaranya pertimbangan normatif seperti perlunya regenerasi. Selain itu adalah pertimbangan aktual, terkait menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada institusi TNI.
Menurut pandangan kami, Presiden Joko Widodo bertanggungjawab untuk mengembalikan pamor atau kepercayaan rakyat kepada institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang runtuh di era kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto.
Bisa dibayangkan, selama ini berkembangnya persepsi di publik, yang menganggap bahwa Panglima TNI Jenderal Hadi semata sebagai Wakil Kepala Polri yang dijabat Jenderal Tito. Persepsi seperti ini sangat melecehkan dan merugikan institusi TNI.
Persepsi seperti itu bisa berkembang pasti ada sebabnya, tidak ujug-ujug. Ada asap pasti ada apinya. Persepsi seperti itu berkembang lantaran masalah kapasitas kepemimpinan dan intelektual di dalam diri Jenderal Hadi.
Persepsi negatif kepada Jenderal Hadi Tjahjanto tersebut berimbas langsung menjadi persepsi negatif kepada institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Survey opini publik yang dilakukan oleh LSI Denny JA membuktikan menurunnya persepsi positif tersebut.
Hasil survey yang diumumkan pada Rabu, 13 November 2019 itu membuktikan terjadi penurunan kepercayaan kepada institusi TNI. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dimana institusi TNI menempati peringkat teratas sebagai institusi paling terpercaya menurun beberapa digit. Dari 90,4 persen di tahun-tahun sebelumnya menjadi 89 persen di era kepemimpinan Jenderal Hadi.
Perlu ditekankan bahwa masalah Hadi Tjahyanto bukan masalah antara matra di dalam tubuh TNI. Setiap matra pasti memiliki perwira terbaik yang mempunyai kapasitas untuk memimpin TNI. Masalah Hadi Tjahjanto adalah masalah kapasitasnya, baik kapasitas leadership maupun kapasitas intelektual yang tidak kompatibel dengan tantangan zaman.
Sebagai contohnya ketika Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto menanggapi teror berdarah di Polres Medan, di sebuah acara di Bogor, 13 November 2019. "Diantara ancaman revolusi industri 4.0 adalah peristiwa yang terjadi dalam tempo yang singkat, kita tak membayangkan tiba-tiba terjadi, "Bang!" bom, di Medan terjadi bom bunuh diri," ujar Jenderal Hadi.
Jenderal Hadi mungkin perlu membuka buka kembali google untuk melihat ciri ciri serangan teror yang dilakukan oleh terorisme dari berbagai generasi. Pada dasarnya hampir seluruh kejadian teror, baik teroris generasi 3.0 maupun teroris generasi 4.0, selalu dilakukan dengan effek kejut, cepat, singkat dan tidak dapat diduga sebelumnya, baik waktu, sasaran maupun pelakunya. Jadi, kejadian bom Medan bukanlah ciri dari ancaman revolusi 4.0.
Perhatikan teror 911 yang meruntuhkan gedung WTC di Amerika, semuanya berlangsung sangat eskalatif, sangat cepat tak dapat diprediksi sebelumnya. Demikian juga teror bom di dalam negeri, di Bali, Kedubes Australia hingga teror bom Marriot. Semua peristiwa teror yang sangat eskalatif itu terjadi sebelum berlangsung revolusi 4.0.
Jangan kemudian kita mengkambinghitamkan revolusi 4.0 untuk menutupi ketidakmampuan dan kegagalan kita sebagai pemimimpin negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945.
Penulis: Haris Rusly Moti