MEMETAKAN AGENDA DAN INDUSTRI RADIKALIS


Oleh: Hendrajit
(Pengamat politik Global Future Institute)

MEMETAKAN AGENDA DAN INDUSTRI RADIKALIS

Telaah Singkat Geopolitik

Geopolitik memberi isyarat, bahwa dunia Islam ini hari ---terutama wilayah kaya tambang--- "nasib"-nya hampir serupa dengan Uni Soviet di era perang dingin (cold war) dahulu. Pola "pengkondisian nasib" nyaris sama.

Begini, jika isu dan/atau stigma global yang ditebar di era cold war dulu adalah komunisme beserta variannya, sebab tema/agenda geopolitik global kala itu ialah clash of ideology, terutama clash antara ideologi kapitalis versus komunis.

Kapitalisme diawaki Barat cq Amerika Serikat (AS) dkk, sedang komunisme diremot oleh Uni Soviet selaku induk.

Tak boleh dielak, bahwa resonansi hal - hal dimaksud pada dinamika politik hampir merata di berbagai belahan dunia ---era perang dingin--- bertema:

"Komunisme" sebagai bahan pokoknya. Termasuk dinamika politik di Indonesia. Entah kudeta PKI 1948-an, contohnya, ataupun Gestapu 1965, atau aneksasi Timor Timur ke dalam NKRI berdalih bendung komunisme, dan lain-lain. Ya konflik lokal adalah bagian dari konflik global.

Ketika dekade 1991-an Soviet pecah berkeping - keping menjadi beberapa negara, hal itu merupakan tanda atau prasasti kemenangan dari kapitalis atas komunis dalam agenda: Clash of Ideology.

Dengan pecahnya Soviet, artinya skenario benturan ideologi di era cold war telah usai. Kapitalisme pemenangnya serta dianggap ideologi unggul di dunia.

Manakala isu atau stigma aktual sekarang ---usai cold war--- adalah radikalisme, sesungguhnya itu kelanjutan isu-isu sebelumnya seperti stigma teroris, mungkin, atau isu ISIS dst dimana kemarin mampu memenuhi ruang publik. Dan tampaknya kini mulai mereda, kenapa?

Selain kedua isu tadi dinilai kurang aktual lagi menggaduhkan publik, juga para tokoh sentral kedua isu tersebut yakni (Osama bin Laden dan Al Badaghdy) telah "dibuang" ke laut oleh AS. "Mati". Dengan demikian, bahwa skenario War on Terror (WoT) dan ISIS sejatinya telah tutup buku.

Artinya, bila kelak muncul lagi drama terorisme dan ISIS di publik, maka ibarat pagelaran, mereka bermain tanpa sutradara. Atau cuma pagelaran sporadis dan sifatnya sektoral.

Hal-hal tersebut terjadi akibat resonansi atas agenda global yakni clash of civilization alias benturan peradaban, yakni benturan antara peradaban Barat versus peradaban Islam sebagaimana tesis Samuel Huntington.

Jadi, isu-isu atau stigma semacam komunisme di era cold war, dst hari ini bukan tanpa gerakan sama sekali, tetapi lebih kepada kurang laku dijual ke publik karena dianggap masa lalu. Ya tema atau agenda global usai cold war adalah benturan peradaban melalui beberapa modus dan agenda.

Selanjutnya, apabila radikalis itu diibaratkan "industri," maka isu celana cingkrang, atau pro kontra pemakaian cadar, jilbab ataupun isu khilafah dst hanya sebuah fabrikasi atau produk turunan atas industrialisasi yang bertitel radikalisme. Inilah pandangan geopolitik terkait maraknya isu radikalisme.

Bila telah memahami mapping geopolitik di atas, maka isu radikalisme yang kini aktual, selain dapat disebut test the water ---memancing reaksi publik--- atau bisa pula dikatakan isu dan stigma (bergerak) kelanjutan dari stigma teroris dan isu ISIS yang mulai meredup.

Juga boleh dicermati sebagai modus asing untuk membangun situasi dan kondisi saling curiga antar warga negara agar rakyat dan/atau umat muslim menjadi lemah akibat timbul segregrasi, muncul konflik antar-golongan, antar-mazhab di tubuh Islam itu sendiri.

Intinya, Islam dalam perspektif entitas dibuat tidak mampu bersatu menjadi kekuatan politik. Maka ibarat pasar, umat muslim hari ini cuma sekedar dijadikan objek garapan belaka. Dan uniknya, umat muslim itu sendiri justru larut dalam alunan gendang yang ditabuh pihak luar.

Sungguh memprihatinkan!

10/11/2019

Baca juga :