[PORTAL-ISLAM.ID] Saat membahas evaluasi kinerja 2019 di hadapan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan ada penambahan desa baru seiring meningkatnya alokasi dana desa. Sri Mulyani menyimpulkan desa-desa baru ini tak wajar.
Meski desa baru itu tidak berpenduduk, kata Sri Mulyani, tapi ia tetap mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat. "Hanya untuk bisa mendapatkan [dana desa]," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia pada 4 November 2019.
Sejumlah desa fiktif itu diduga berada di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
Usai pertemuan itu, sejumlah pihak beramai-ramai berkomentar dan berjanji mengusut 'desa fiktif' tersebut.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan tengah bekerja sama dengan Polda Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mengusut desa fiktif yang menurutnya ada empat itu. "Tim kami sudah bergerak," ucap Tito di Mako Brimob Polri, Depok, Rabu (6/11/2019).
Tito meminta Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Pol Merdisyam untuk menindak pelaku di balik adanya desa fiktif itu. Jika terbukti merugikan negara, ia meminta agar diproses hukum.
Komisi Pemberantasan Kosupsi (KPK) pun turun tangan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan lembaganya telah melakukan koordinasi dan supervisi dengan Polda Sulawesi Tenggara untuk membantu menangani dugaan tindak pidana korupsi (TPK) dana desa pada desa fiktif di Konawe.
"Perkara yang ditangani adalah dugaan TPK membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah," ujar Febri melalui pesan singkat, Rabu (6/11/2019).
Kasus ini bahkan menarik perhatian Presiden Joko Widodo. Menurutnya meski sulit mengelola desa karena bentang alam Indonesia dari "Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote," dia menegaskan akan bertindak.
"Tetap kami kejar agar yang namanya desa-desa tadi, yang diperkirakan, diduga fiktif, ketemu, ketangkap," kata Jokowi setelah acara Peresmian Pembukaan Konstruksi Indonesia 2019 di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Naik Tahap Penyidikan
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhart mengatakan kasus desa fiktif di daerah Sulawesi Tenggara bukan baru-baru ini. Polisi telah mendapatkan kabar tersebut sejak Januari 2019.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap 57 saksi, tim Polda Sultra menemukan setidaknya sebanyak 56 desa yang diduga janggal. Kemudian, setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, desa fiktif itu dikategorikan menjadi dua bagian.
33 desa sudah terdata di provinsi maupun Kemendagri, dan dinyatakan tidak bermasalah. Sementara 23 desa lainnya belum terdata baik di provinsi maupun Kemendagri. Lalu, dari 23 desa bermasalah itu, ditemukan dua desa yaitu Wiau dan Napoha yang sama sekali tidak berpenduduk.
"Hanya ada papan nama desa dan kantor desa yang terbuat dari rumah kayu saja. Tidak ada warganya, juga Kepala Desanya," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (7/11/2019) malam.
21 desa lainnya memang berpenduduk, tetapi tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi sebuah desa. Pasalnya, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di daerah Sultra, sebuah desa bisa dibentuk jika penduduk yang menetap di daerah tersebut sebanyak 2.000 jiwa atau 400 Kepala Keluarga.
"21 desa tidak memenuhi syarat sebagai desa definitif," ujarnya.
Setelah melakukan penyelidikan dan menemukan bukti yang cukup kuat, pada Juli 2019 kemarin, Polda Sultra meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan. Kemudian kata Harry, Tim Polda Sultra saat ini telah melakukan beberapa langkah. Antara lain bekerja sama dengan KPK, ahli hukum, dan administrasi negara untuk melakukan penyidikan ke lapangan.
Selain itu, tim bersama Ahli Konstruksi dari Lembaga Pengembangan Jasa dan Konstruksi (LPJK) Sultra juga melakukan pemeriksaan fisik terhadap dana fiktif itu.
Tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bersama Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit untuk mengetahui adanya potensi kerugian uang negara.
"Hasil penyidikan nanti kami sampaikan. Kita masih kumpulkan dulu, nanti akan kami adakan gelar perkara untuk mengambil langkah selanjutnya," terangnya.
Polisi belum menentukan siapa pelaku di balik itu. Pasalnya, harus ada audit dari BPKP dulu.
"Tentunya kita semua berharap proses penyidikan berjalan lancar dan bisa terungkap. Kami mengumpulkan seluruh petunjuk saksi ahli dan mengumpulkan keterangan," pungkasnya.
Dibantah Mendes PDTT
Namun, setelah semua pernyataan itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan "sejauh ini belum ada desa fiktif."
Di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (11/8/2019), mengatakan yang pertama perlu dilakukan adalah "menyamakan persepsi desa fiktif itu apa." "Kalau yang dimaksud fiktif itu sesuatu yang tidak ada kemudian dikucuri dana dan dana tidak bisa dipertanggungjawabkan, itu tidak ada," kata Abdul.
"Desanya ada, penduduknya ada, pemerintahan ada, dana dikucurkan, pertanggungjawaban ada, sehingga saya bingung yang namanya fiktif bagaimana," tambahnya.
Alokasi dana desa terus meningkat, yakni Rp20,67 triliun pada 2015, Rp46,98 triliun pada 2016, Rp60 triliun pada 2017, Rp60 triliun pada 2018, Rp70 triliun pada 2019 hingga Rp72 triliun pada 2020 untuk sekitar 74.900 desa di Indonesia.
"Sudah kami telusuri semua sesuai dengan tupoksinya Kemendes PDTT. Sudah kami telaah dan memang kami temukan laporannya ada tahapan satu, dua, tiga. Dana desa setahun itu dievaluasi dua kali. Pertama 20 persen, setelah selesai laporan 40 persen, tidak akan turun itu kalau laporan tidak selesai," jelas Abdul.
Abdul pun mengklaim sudah melaporkan hal itu kepada Menkeu Sri Mulyani.
Sumber: tirto