[PORTAL-ISLAM.ID] Berbasis pendekatan keamanan. Cita rasa kabinet Indonesia Maju tidak bisa dipungkiri seolah tertuju pada kepentingan pemberantasan radikalisme. Perlu persepsi yang sama terkait narasi tersebut.
Penempatan para menteri dalam struktur kabinet kali ini, banyak dibahas sebagai pilihan akomodatif, sebagian bahkan menganggap posisinya mengarah pada kepentingan transaksional.
Terlebih ketika lawan kompetisi, kemudian dirangkul menjadi bagian kawan koalisi. Kombinasi kabinet pelangi tercipta. Bukan hanya posisi menteri, juga melebar pada pemilihan wakil menteri.
Keberadaan sejumlah jenderal mantan petinggi militer untuk beberapa pos, semakin menguatkan pesan tentang upaya perlindungan kekuasaan dari ancaman luar, yang mewujud dalam bentuk radikalisme.
Pilihan diksi radikalisme, menjadi selaras dengan berbagai narasi sebelumnya. Oknum Taliban di KPK, wilayah kantong suara Pilpres "Garis Keras", hingga daftar 200 mubaligh rekomendasi Kemenag.
Berbagai pertanyaan sambungan atas kisah radikalisme muncul, apa benar radikalisme menjadi persoalan utama bangsa? Radikalisme dalam bentuk yang bagaimana?
Reproduksi Wacana Global
Pada tarikan pembahasan mengenai radikalisme, maka yang kemudian hendak diatur dan ditertibkan adalah cara berpakaian sesuai kepercayaan semisal bercadar serta bercelana cingkrang.
Bahkan bukan tidak mungkin, dapat juga merujuk pada identitas fisik, seperti jenggot dan jidat hitam maka kita tengah berada di situasi kegagalan pemahaman.
Letak radikalisme bukan pada penampilan, melainkan pada tindakan yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan kehidupan bersama. Terlebih bibit radikalisme menyebar dalam banyak kondisi.
Keliru jika menempatkan radikalisme hanya terkonsentrasi pada satu keyakinan agama tertentu. Konstruksi bangunan wacana radikalisme, yang ditempelkan pada Islam, pada kajian global, adalah bentuk preteks yang diproduksi dan disebarkan melalui propaganda Barat.
Dengan begitu, ada pembenaran bagi tindakan penertiban di berbagai wilayah dunia yang dianggap tidak selaras dengan kepentingan regulator dunia, blok Kapitalis Barat dengan motor negeri Paman Sam. Isu radikalisme ditebar untuk motif kekuasaan, dalam kerangka globalisasi.
Pada berbagai perang di kawasan Timur Tengah, kisah radikalisme bersamaan dengan terorisme, setelah peristiwa jatuhnya menara kembar WTC 9/11, semakin masif diperlihatkan. Motif yang dapat terbingkai, termasuk diantaranya penguasaan basis sumberdaya alam, perluasan pengaruh dan pasar.
Berpangkal Politik Lokal
Jika merunut akar penguatan isu radikalisme, maka wacana tersebut tumbuh seiring dengan gesekan kontestasi politik. Dimulai dari Pilkada DKI hingga memuncak pada gelaran Pilpres lalu.
Kompetisi politik yang menghangat, hanya menghadirkan pilihan terbatas, dan situasi dikotomik itu yang mengakibatkan polarisasi terjadi. Problemnya, permainan politik elite berbeda dengan panggung publik.
Ketika kabinet disusun dan elit berdamai, tidak demikian yang terjadi di tingkat akar rumput. Dengan begitu, narasi radikalisme dipergunakan dengan model serupa di tingkat global, menjadi cara untuk melakukan penertiban.
Fase yang sama ketika kekuasaan tengah melakukan konsolidasi adalah memilih wacana yang hendak dimajukan. Jika melihat sejarah di era Orde Baru misalnya, pilihan narasinya berubah-ubah sesuai kebutuhan yang berlaku.
Pada tahap awal, sentimen anti Komunisme dipergunakan, untuk mengambil momentum bagi legitimasi kekuasaan. Selanjutnya Orde Baru mempergunakan narasi stabilitas pembangunan.
Dengan pendekatan tersebut, perbedaan politik di masa Orde Baru adalah bentuk gangguan keamanan, yang menjadi ancaman pembangunan. Relasi pasang surut hubungan Orde Baru dengan gerakan mahasiswa dan kelompok Islam pun terjadi secara silih berganti.
Narasi Politik Rasional
Keterbelahan publik, terjadi karena peningkatan politik identitas. Problemnya, mekanisme politik identitas kemudian dimaknai sebagai radikalisme. Politisasi identitas, menggunakan aspek primordial bisa menjadi penguat bila menjadi pendamping ide besar.
Gagasan meng-Indonesia, adalah bentuk politisasi identitas priboemi, dalam ide kemerdekaan serta kebebasan dari penjajahan kolonialisme Belanda. Problemnya, kini kita bertarung sesama anak bangsa, untuk kepentingan kekuasaan.
Bahwa pada tingkat tertentu radikalisme, terorisme bahkan separatisme muncul sebagai ekspresi fisik bersifat langsung, maka hal tersebut harus dituntaskan melalui kemampuan intelijen dalam senyap.
Sementara itu, menjadikan tema radikalisme sebagai narasi besar kabinet adalah sebuah kesalahan. Terlebih gagasan radikalisme, seolah menjadi persesuaian atas generalisasi pada perbedaan pendapat politik dan tampilan religiusitas, yang akan dibungkam.
Perlu re-orientasi arah kabinet. Menjadikan "radikalisme" atau yang kemudian disebut "manipulator agama" sebagaimana benak pemerintah, menempatkannya sebagai common enemy, sebagai bentuk dari hasil polarisasi politik identitas tentu tidak tepat.
Pada Syafuan Rozi dkk dalam Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi Keetnisan versus Keindonesiaan, 2019, dapat disimpulkan bahwa perlu solusi dalam menjawab persoalan identitas serta etnisitas; yaitu (i) kesadaran atas lokalitas, (ii) soal ketimpangan struktural, (iii) kepemimpinan, (iv) demokratisasi serta (v) arah kebijakan masa depan yang mengikis diskriminasi.
Dengan begitu, penggunaan narasi radikalisme justru tidak menjawab permasalahan tersebut, bahkan menjadi batas pemisah baru. Perlu komitmen untuk menyukseskan pembangunan periode kedua. Perlu pembangkitan gagasan positif, dibanding menggunakan teknik fear arousing radikalisme.
Di masa depan butuh energi bangsa ini secara bersama-sama untuk keluar dari jebakan stagnasi ekonomi, mencapai cita-cita bersama tentang Indonesia maju serta adil makmur sejahtera. Jadi jangan justru kembali membelah kekuatan publik dengan narasi yang kontraproduktif.
Penulis: Yudhi Hertanto