[PORTAL-ISLAM.ID] Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Tapi, kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas.
Demikian penggalan tulisan Anis Matta pada Cinta Tanpa Definisi, salah satu Serial Cinta yang ditulisnya di Majalah Tarbawi.
Sungguh narasi cinta yang tidak mudah dijelaskan. Pun tak mudah dimengerti kecuali oleh mereka yang terlibat dalam kerja-kerja cinta. Cinta yang bekerja tanpa pamrih. Cinta yang hanya menampakkan ketulusan.
Seperti Qais yang pernah dipersilakan menyelinap ke bilik Laila. Tapi pecinta itu menolaknya. Walau dadanya mungkin bergemuruh, ingin memeluk dan melumat Laila.
Anis Matta dengan semua yang melekat pada dirinya, bisa saja melakukan perlawanan saat ia tersingkir. Secara defacto, ia masih menggenggam PKS dari pusat hingga ke daerah.
Tapi Anis Matta memilih menepi. Ketika kubangan semakin berkecamuk, gelombang pemecatan terus terjadi dimana-mana, termasuk juga yang memilih hengkang, Anis Matta seperti hilang ditelan bumi.
Upaya islah beberapakali dilakukan. Termasuk terakhir pertemuan Pak Anis dengan Dr. Salim, kesepakatan terbangun. Tapi yang berkepentingan terhadap konflik ini seakan mementahkan keinginan tersebut.
Seperti buah yang sudah terpisah tangkai. Jatuh, tak bisa lagi dirangkai. Walau segala upaya dilakukan. Qaddrallahu, maa sya`a fa'ala!
Dari Aceh hingga ujung timur Indonesia, ada banyak orang yang tersingkir: menyingkir atau disingkirkan. Orang-orang cerdas dan baik. Di antaranya juga sedang menduduki jabatan strategis. Sungguh potensi besar anak bangsa!
Potensi besar tersebut, sayang kalau tidak terwadahi dengan baik. Walau sebenarnya, bisa saja partai-partai lain mengakomodasi mereka. Seperti Fahri misalnya, ia bisa nyaleg di partai mana saja, ada banyak partai berebut untuk mendapatkannya.
Namun tautan hati bersama teman-temannya, cinta yang telah lama ia dengungkan bersama kawan-kawannya, tak akan pernah bisa menculiknya untuk menyertai orang lain.
Maka kini wadah tersebut telah terbentuk. Wadah yang dalam bahasa Malaysia disebut berkas. Setiap kita tak ada yang bisa menjamin berkas tersebut tak berdebu. Kotoran apapun, zahirnya tetap akan terlihat. Tapi air yang jernih, kesuciannya terlindung jua.
Karena cinta memang bukan sekedar di mata. Tapi ia hadir di dalam jiwa. Cinta itu hanya nampak pada buah kerjanya. Seperti banjir menderas. Kita tak bisa mencegahnya. Kita hanya ternganga ketika air meluapi sungai-sungai.
Gelora cinta telah pun membara. Masa lalu biarlah berlalu. Satukan langkah pasti. Menyongsong gelombang rakyat, yang gemuruhnya terus meratai pelosok Negeri.
11-11-2019
Abrar Rifai
(Ponpes Babul Khairat Malang)