[PORTAL-ISLAM.ID] Narasi berkembang, sesuai kepentingan! Meski kontestasi politik baru saja usai, babak baru ternyata telah dimulai. Riak kegaduhan itu terus terasa di linimasa.
Apa yang sama dalam konstruksi kasus Aibon dan Desa Fiktif? Bagaimana kita melihat kejadian ambruknya atap sekolah? Di sisi yang berbeda, ada persoalan kenaikan premi BPJS Kesehatan.
Lantas apa yang mengaitkan semua kejadian tersebut? Satu yang pasti demokrasi penuh kegaduhan memang menjadi bagian dari keseharian kita, bahkan perkara pelukan jadi isu politik besar.
Wacana yang terpolarisasi, terjadi seiring dengan pilihan-pilihan politik yang diambil. Meski telah tuntas tingkat elit melalui politik akomodatif yang kompromistik, di akar rumput masih ada bara tersisa.
Duduk Perkara Lem dan Desa
Soal temuan anggaran janggal aibon adalah sebuah kebaikan, meluruskan apa yang tampak bengkok. Kita boleh tidak bersepakat tentang cara, tetapi maksud yang baik tentu menjadi bagian koreksi.
Begitu juga anggaran desa yang salah sasaran, ini juga tentang inefisiensi alokasi. Posting data yang salah, bisa berujung pada pengambilan tindakan hingga kesimpulan yang keliru, akibatnya fatal.
Perlu dikaji lebih jauh, adakah motif kesengajaan ataukah kealpaan? Pada posisi kritikal, maka pertanyaan yang menukik, siapa yang akan mengambil keuntungan dari situasi tersebut?.
Sikap skeptikal pada kekuasaan, merupakan kepentingan semua pihak. Mengapa begitu? Karena kekuasaan memiliki tendensi pada penyelewengan, baik untuk kepentingan individu maupun kelompok. Tersebab itu pulalah watchdog diperlukan.
Korupsi! Kata itu berkait tindakan mencoleng anggaran negara, dampaknya merugikan publik pada konteks rendahnya kualitas pembangunan. Skema modelnya, bisa dengan mengakali hingga mentransaksikan pengaruh, jabatan serta kewenangan yang dimiliki.
Problemnya, saluran aspirasi publik yang juga menjadi kanalisasi tindakan anti korupsi juga sedang diperlemah. Walhasil kekacauan tercipta, hukum rimba berlaku. Bisa terjadi tebang pilih kasus, sesuai kepentingan politik kekuasaan.
Keterbelahan Publik
Ruang wacana publik, hari-hari ini seolah berlaku timpang. Bergerak di antara gagasan partikular dan general. Membidik potensi korupsi di DKI dengan Aibon, atau melihat realitas misalokasi dana desa pada tingkat nasional?.
Semakin terasa fokus dari percakapan publik, tidak terlepas dari framing atas dukungan politik. Hal itu yang kemudian menjelaskan, kenapa seolah-olah publik tidak berimbang dalam membahas korupsi.
Padahal korupsi adalah masalah bersama, entah apapun pilihan politiknya. Karena kekuasaan memang cenderung untuk korup, serta abai dengan kepentingan publik, tetapi justru mendahulukan hasrat pribadinya.
Bahkan untuk kasus terkait institusi pemberantasan korupsi, sikap publik juga terbelah. Bias informasi diciptakan, membuat publik kebingungan atas fakta kebenaran. Lantas nilai kebenaran ditentukan oleh kerangka emosional, bukan aspek rasional.
Publik perlu literasi yang utuh, bahwa korupsi adalah masalah besar bangsa ini. Termasuk praktik politik kita, memang menyuburkan peluang korupsi. Bukan demokrasi langsungnya yang diubah, melainkan korupsinya diberantas dengan lembaga powerfull.
Preventif atau Kuratif?
Persoalan besar paradigma pemberantasan korupsi kini dimulai dengan benang kusut, dominan pada penekanan pencegahan, ataukah menyelusup masuk semakin dalam ke ruang penindakan?
Seharusnya, publik tidak terdistorsi dengan retorika seperti itu, yang sarat muatan kepentingan. Aspek preventif dibutuhkan, sama besarnya dengan keperluan melakukan upaya kuratif. Mengapa? Jelas karena korupsi telah mengurat akar di negeri ini.
Jadi memisahkan tindakan preventif yang akan lebih efektif dibandingkan dengan aspek kuratif, adalah kesalahan bernalar. Termasuk dorongan pembentukan lembaga pengawas bagi institusi KPK dan reorientasi pada soal pencegahan korupsi semata, adalah bentuk kegagalan rasionalitas.
Pada kasus Aibon dan Desa Fiktif, orang akan digiring pada perdebatan apakah korupsi itu menjangkau pada masalah tindakan langsung -actus reus hingga sikap batin/ motif -mens rea? Apa bisa dinilai dari niatan, atau menunggu terjadinya kegiatan?
Sepenuhnya aspek legal yang akan menentukan bandul penegakan hukum. Tindakan kejahatan tentu dimulai dengan niat jahat. Di sini prinsip, keadilan dan keberimbangan mendapatkan ujian.
Karena aturan, harusnya berlaku sama untuk semua. Bila terjadi pendekatan secara kasuistik, alias tebang pilih tentu mencederai kehendak publik. Untuk urusan publik, kasus-kasus yang menjadi sorotan harus dibuka secara terang benderang menghindari prasangka.
Slogan yang sering terdengar, dalam konteks rantai komando kepemimpinan, "tidak ada prajurit yang salah, maka yang salah adalah komandannya" perlu mendapatkan pencermatan. Bila ada menteri yang tersangka, atau katakanlah kepala SKPD yang mundur, maka itu bentuk kegagalan kepemimpinan.
Di lingkup legal, perlu dilacak keterhubungan aktor dan pembuktian kesalahan. Tetapi di level etika, berbagai kasus tersebut, menjadi jejak yang mencoreng wajah para pemimpin, akibat ketidakmampuan fungsi kepemimpinan.
Problemnya siapa yang akan mengambil peran penegakan hukum atas persoalan extra ordinary crime ini, ketika distrust terjadi pada lembaga penegak hukum, sementara posisi KPK tengah lesu darah?
Penulis: Yudhi Hertanto