[PORTAL-ISLAM.ID] Pantas disebut "gate" karena telah menyerupai skandal. Kenaikan "panik" seratus persen semua kelas cukup mengejutkan dan memberatkan. DPR khususnya Komisi IX mengkritik dan menyatakan keberatan atas kenaikan ini. Ada dua hal yang terungkap dari rapat kerja dengan Menkes dan Direksi BPJS pertama ingkar janji untuk tidak menaikan kelas tiga dan kedua hutang BPJS yang besar pada banyak rumah sakit.
Gaji besar ratusan juta per bulan Direksi dan Dewan Pengawas ditambah tunjangan dan bonus bonus, tak berimbang dengan defisit yang terjadi dari tahun ke tahun. Tahun ini saja defisit BPJS Kesehatan mencapai 28 Trilyun. Di tengah kinerja buruk manajemen lucunya Menkeu memanjakan Direksi dan Dewan Pengawas dengan fasilitasi besar tersebut.
Skandal, karena untuk RS Muhammadiyah saja hutang BPJS sampai 300 Milyar. Tentu untuk seluruh RS se Indonesia "wanprestasi" bisa mencapai trilyunan. Kelambatan pembayaran sangat merugikan dan bisa membangkrutkan rumah sakit kecil. Suara untuk meminta pembubaran BPJS sudah mulai terdengar.
Pemerintah mesti bertanggungjawab penuh. Presiden tidak bisa berdiam diri dan mesti mengambil langkah strategis. Membiarkan begitu saja dapat berakibat goyahnya Pemerintahan kelak. Lebih jauh Presiden bisa saja jatuh.
Bisa jatuh? Jauh sekali dan terlalu skeptiskah? Jawabannya iya. Mengapa? Ada tiga hal yang mendasari, yaitu:
Pertama, BPJS khususnya BPJS Kesehatan telah dideklarasikan bukan semata "asuransi" biasa tetapi "jaminan" kesehatan yang dasarnya saling membantu secara nasional. Dengan filosofi ini maka kegiatan BPJS cenderung dipaksakan. Sebab kesukarelaan bisa merusak kalkulasi. Demikian juga dengan tunggakan. Karenanya pasukan penagih disiapkan dan sanksi berat dikenakan pada penunggak. Konon ke depan berpengaruh pada pengurusan KTP, SIM, proses sertifikasi, perbankan, dan lainnya.
Kedua, dengan BPJS sebagian menikmati manfaat sebagian lain terkena beban. Apalagi peserta sehat dan tak menggunakan tetapi tetap dikejar kewajiban. Ini menjadi dasar dalam masalah keadilan. Lebih jauh dari aspek keagamaan bisa jatuh haram. MUI pernah menyatakan. Begitu juga dengan pandangan beberapa tokoh dan organisasi Islam. BPJS masih menyisakan persoalan hukum keagamaan. Muncul pula gagasan perlunya BPJS Syariah.
Ketiga, kesulitan pembayaran kepada rumah sakit adalah masalah serius. Pelayanan terganggu dan arus kas keuangan RS berantakan. Solusi masing masing RS dengan dana talangan tentu berbunga dan beban besar pengembalian. Pembayaran BPJS pun tidak sesuai jadwal dan jumlah. Hingga dapat disebut "pembunuhan pelan pelan" bagi RS tersebut.
Dimana dapat menjatuhkan Presiden? Dari tiga sebab di atas jika terjadi kondisi fatal yakni pemaksaan pada peserta BPJS berbuntut tunggakan besar besaran berefek kesulitan rakyat, maka situasi politik menjadi seperti "penguasa menjajah rakyat". Rakyat yang terdholimi. Trilyunan dana macet.
Lalu, diruang keagamaan semakin kencang bahasan kehalalan BPJS. Jika akhirnya masuk domein "haram" maka betapa hancurnya sistem. Dan jika banyak RS "berontak" bukan saja dengan memutuskan kerjasama tetapi melakukan gugatan dan tuntutan lain, maka dipastikan program ini akan berantakan dan gagal.
Kegagalan atas tanggung jawab Presiden. Skandal ratusan trilyun dapat terjadi. BPJS bisa menjatuhkan Presiden. Semakin takut gagal maka kebijakan akan semakin mencekik peserta. Tapi nanti ujungnya yang tercekik adalah Pemerintah. Pemerintahan itu dipimpin oleh seorang Presiden.
Bandung, 8 November 2019
Penuli: M Rizal Fadillah