[PORTAL-ISLAM.ID] Ada yang lucu mengiringi formasi Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dibentuk. Semisal, ada protes dari seorang ketua relawan tentang masuknya lawan politik di kabinet, tetiba sang pemrotes diangkat jadi Wakil Menteri (Wamen) di sebuah kementerian. Belum lagi jabatan-jabatan serupa yang juga diberikan hanya sekadar memenuhi hasrat "keterwakilan" dukungan politik kepada capres yang saat ini jadi Presiden. Mengenai kompetensi? Mungkin jadi urusan nomer buntut. Tidak salah bila ada olok-olok, "Wamen Pasca Bayar". Hemmm...Ada-ada saja.
Padahal, sebagai Wamen, mereka digaji menggunakan uang rakyat. Sebagai rakyat, tentu kita tidak ikhlas, yang pajak-pajaknya "dipaksa" untuk membayar mereka bila jabatan Wamen, yang sejatinya, sesuai amanat Undang-Undang merupakan jabatan khusus untuk membantu Menteri dalam tugas-tugas khusus hanya sekadar dijadikan "jabatan sambilan" atas jasa seseorang karena telah memberikan dukungan politik. Emang kita sedang kendurian?
Perhatikan bunyi undang-undangnya Bung! Pasal 10 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebut:
"Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu."
Penjelasan Pasal 10 menyebutkan,"Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah Pejabat Karier dan bukan merupakan anggota kabinet." Walaupun Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Amar Putusannya No. 157 Tahun 2009, atas uji materi sejumlah pihak, penjelasan Pasal 10 tentang "Pejabat Karier" ditentukan tidak mengikat. Namun frase "tidak mengikat" seharusnya bisa dipahami sebagai sebuah anjuran atau pengutamaan ke jalan yang lebih baik. Begitu spirit undang-undangnya.
Jadi, bila kita membaca dan memahami bunyi Undang-Undang Pasal 10 tersebut, kendatipun ada Amar Putusan MK yang baru, tetapi spirit pemejabatan Wamen seharusnya tidak dikesankan diobral untuk para relawan atau mereka yang selama ini memberikan dukungan politik sebagai imbal jasa politik kepada Sang Presiden. Begitu sebaiknya bila kita ingin menjaga marwah Undang-Undang.
Seharusnya, dia merupakan pejabat karier dan sedapat mungkin berasal dari internal kementerian dalam rangka mendukung kerja-kerja kementerian. Sekaligus memperkecil conflict of interest (konflik kepentingan) di internal kementerian. Kasarnya, Wamen harus diisi oleh Pejabat Karier bukan Avonturir (para petualang politik).
Apakah dengan demikian dapat dikatakan Presiden melanggar undang-undang? Kalau ketentuannya seperti itu, memang boleh dibilang belum melanggar undang-undang. Cuma yang perlu ditegaskan, spirit penyusunan kabinet seharusnya bisa diperhatikan aspek kompetensi dan dinamika carier path (jenjang karir) yang berlaku pada birokrasi dalam sebuah kementerian. Lalu?
Nah, di sinilah pentingnya check and balance dalam sebuah sistem politik. Seharusnya DPR bisa mengingatkan atau MPR bisa memberikan arahan atas ketentuan undang-undang yang diberlakukan. Kendatipun soal formasi para pejabat setingkat itu, Presiden memiliki hak prerogatif. Tetapi hak yang dimiliki Presiden tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Kalau ini dilakukan, sama saja mengkhianati kerja DPR. Begitu khan?
Masalahnya, semua institusi atau kelembagaan negara sudah dibuat menjadi satu warna politik, yakni mereka yang memiliki loyalitas tunggal pada kekuasaan. Alhasil fungsinyapun jadi mandul. Jadi ini catatan pertama yang harus menjadi perhatian semua pihak. Padahal ini masih hitungan hari. Kita tentu tidak ingin menyaksikan pelanggaran demi pelanggran atau penyimpangan demi penyimpangan atas pemejabatan yang dinilai "haram" berakibat pada malkekuasaan atau lebih cilaka jalan menuju korupsi.
Akhirnya, kita tidak tahu, apakah ini ujung dari membuat begitu birokratisnya ketentuan penyadapan yang selama ini banyak memunculkan banyak OTT dalam revisi UUKPK yang baru? Juga memunculkan Komisioner yang dinilai kontroversi? Ini memang periode kedua kekuasaan. Biasanya, di periode ini jadi kesempatan untuk bagi-bagi "kue kekuasaan". Baik untuk para mitra koalisi maupun para tim sukses dan relawan para pendukung. Cuma kalau kata pepatah Jawa, "Ngono yo ngono ning ojo ngono". End.
(By Kusairi Muhammad)