Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
Peristiwa penusukan atas Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang Kamis siang kemarin patut disesalkan. Sayang sekali narasi resmi elite politik berkuasa yang segera menyusul peristiwa tersebut buruk jika bukan dianggap gegabah.
Wacana islamophobia yang sudah agak reda kini dengan ceroboh disemburkan kembali dengan menyebut keterlibatan kelompok radikal Islam. Ini tidak sebanding dengan narasi resmi Pemerintah atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Wamena dan Nduga yang tidak menyinggung siapapun yang bertanggungjawab. Lalu ‘teror’ justru disebar pemerintah dengan mengatakan bahwa ‘para radikal yang haus darah masih banyak berkeliaran di sekitar kita, bahkan tinggal sebagai tetangga kita’.
Pada saat komunitas intelijen tahu dan masyarakat makin cerdas bahwa ISIS adalah kreasi intelijen Sekutu di Timur Tengah melalui narasi besar "global war on terror", tentu mengaitkan aksi penusukan Wiranto di Pandeglang dengan kelompok radikal Islam di Suriah itu adalah tindakan yang terlalu sembrono, walaupun bisa dipahami dengan menggunakan teori Butterfly Effects.
Artinya, narasi ini tidak memiliki nilai berita sama sekali selain akan dilihat masyarakat bahwa karakter dasar pemerintah saat ini: sekuler dan anti-Islam. Narasi ini juga kadaluwarso karena narasi resmi Pemerintah ini tidak mengakui terorisme negara, dan teror hanya dilakukan oleh kelompok radikal.
Jika masalah yang dihadapi Pemerintah adalah mengamankan pelantikan Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019, maka narasi yang dibangun di atas kejadian Pandeglang itu bisa kontra produktif.
Versi Islam di Nusantara dikenal luas selama ratusan tahun sebagai paham yang sangat toleran yang telah mengadopsi kekayaan budaya lokal yang cocok. Aksi-aksi kekerasan yang selama 20 tahun ini terjadi di Indonesia (disebut aksi teroris) sesungguhnya adalah reaksi non-linier atas aksi global war on terror yang dikumandangkan George Bush Jr. sejak serangan atas WTC 2001 dan diikuti dengan ketat oleh sekutu dan negara-negara bonekanya. Bahkan Bush menyebut agenda tersebut sebagai the Crusade atau Perang Salib.
Analisis bahwa kekerasan sporadis kecil-kecilan itu hanya reaksi atas state sponsored terrorism brutal dengan korban puluhan ribu di Timur Tengah selama dua dekade itu tampak dengan sengaja diabaikan.
Artinya, jika politik luar negeri bebas aktif RI berjalan efektif, tindakan melanggar hukum AS dan Sekutunya itu sejak awal bisa dicegah, dan reaksi-reaksi non-linier itu tidak akan pernah ada.
Perang buatan
Umat Islam melihat dirinya sebagai umat yang satu tanpa dibatasi sekat-sekat negara bangsa. Jika ada saudara mereka didzalimi di Afghanistan, kepedihan itu dirasakan oleh saudaranya di tempat yang jauh. Jika Pemerintah di negara-negara Muslim itu tegas menolak perang ilegal yg dilancarkan AS dan sekutunya, maka kedzaliman itu akan segera dapat dihentikan.
Muslim Indonesia tahu bahwa tugas menciptakan ketertiban dunia dan keadilan serta menghapus penjajahan adalah tugas pemerintah yang diamanatkan konstitusi, termasuk menjaga tumpah darah dan bangsa Indonesia.
George W Bush tahu jika musuh Islam tidak pernah bisa menjajah dengan mudah di banyak kawasan Muslim. Pemerintah ini perlu diingatkan bahwa Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau disingkat VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 pernah mengalami kekalahan pahit selama Perang Jawa melawan Laskar Bulkiyo Pangeran Diponegoro yang mahir berkuda dan memanah.
Diponegoro merumuskan perang ini sebagai jihad fii sabiilillah melawan kaum kafir. Akibat perang selama 5 tahun itu (1825-1830) VOC bangkrut dan terpaksa minta tolong Kerajaan Belanda untuk membiayai menyelesaikan perang itu walaupun harus dengan menipu Diponegoro secara licik.
Bahkan Lord Mountbatten, Jendral Perang Inggris untuk Asia Tenggara juga memperoleh perlawanan keras di Surabaya beberapa bulan setelah RI diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Anak buahnya, Brigjen Mallaby justru tewas di Kota Pahlawan itu. Walaupun secara taktis Inggris menang di Surabaya, tapi secara politis dia kalah.
Aksi militer AS dan sekutunya tidak pernah menang di Afghanistan dan kini kalah melawan tentara mahasiswa (Thaliban). Semua perang saudara tidak menguntungkan siapapun kecuali segelintir makelar senjata dan para kompradornya yang hidup kaya dari perang-perang yang sia-sia dengan ratusan ribu korban sipil serta kehancuran peradaban. Hal ini sudah diingatkan oleh Presiden Eisenhower sendiri (1961) yang menyebut fenoma perang buatan itu sebagai military industrial complex, persekongkolan politisi busuk dengan pemilik pabrik senjata.
Jika pendekatan kasar dan menyudutkan terhadap Muslim Indonesia ini dilakukan terus-menerus oleh rezim ini, maka ketahuilah bahwa tak seorangpun diuntungkan, apapun agama dan partai politiknya. Peradaban bangsa ini akan mundur puluhan tahun dan republik ini justru makin hancur terpecah belah dan mungkin hilang dari peta dunia.[Inside]