POLITIK antara Akeh-akehan dan Apik-apikan


POLITIK antara Akeh-akehan dan Apik-apikan

By Setiya Jogja

Politik adalah jalan untuk mencapai kekuasaan. Tapi, karena kekuasaan itu diinginkan banyak orang, sedangkan jumlah kekuasaan itu sedikit, maka terjadilah perebutan.

Lalu, siapakah yang akan memenangi perebutan dan mendapatkan kekuasaan? Mereka yang 'akeh' (banyak) atau yang kuat.

Sebelumnya saya ingin mengingatkan, bahwa kekuasaan itu sejak doeloe kala selalu diperebutkan. Mungkin itu bagian dari fitrah manusia.

Meskipun kita meyakini kekuasaan itu mutlak milik Allah SWT. Namun kekuasaan dipergilirkan dengan jalan perebutan. Sebagaimana rezeki juga kuasa Allah SWT, tapi tanpa bekerja rezeki tidak bakal turun dari langit.

Nah, doeloe di jaman peradaban masa laloe, kekuasaan lebih sering diperebutkan dengan cara adu kuat secara fisik. Perang terbuka, pertarungan sabung nyawa. Siapa memenangkan pertempuran, dia akan pegang kuasa.

Hari ini, kita mensepakati menggunakan sistem demokrasi. Bahwa kekuasaan itu dibatasai dan diperebutkan melalui pemilu sebagai instrumen demokrasi.

Pemilu sendiri ada beragam jenis. Kita di Indonesia memilih pemilu langsung, dimana satu orang memiliki satu suara. Dengan serangkaian mekanisme tertentu, mulai syarat pemilih, siapa yang dipilih, pembagian daerah, kuota, konversi suara ke kursi dan seterusnya.

Karena pemilu itu one man one vote, maka pada fase ini kemenangan diraih dengan akeh-akehan. Siapa mendapatkan suara terbanyak, dialah yang akan memenangkan pemilu. Tidak peduli suara itu dari profesor atau penjual martabak telor, ustadz atau penjahat. Semua sama nilainya satu suara.

Setelah rekapitulasi suara dan kemudian dikonversi menjadi kursi. Hukum akeh-akehan juga masih relevan. Apalagi kalau bisa memiliki kursi mayoritas tunggal.

Misalnya PDIP di Boyolali, yang menguasai 35 kursi dari total 45 kursi DPRD. Sudah terbayangkan, bagaimana fraksi PDIP akan sangat powerful. Meski tidak tertutup sama sekali, sulit kiranya fraksi yang lain akan memenangkan pertarungan politik di DPRD.

Berbeda bila konstelasi kursi tidak ada yang terlalu dominan. Maka situasi politik akan lebih dinamis. Kalaulah tidak membangun koalisi permanen satu periode, bisa jadi koalisi terjadi atas tiap issue.

Kita bisa sedikit belajar dari dinamika politik tahun 2014. Setelah koalisi merah putih (KMP) kalah dalam pilpres, mereka kemudian membangun ide koalisi permanen di legislatif. Mengubah UU-MD3 untuk memuluskan perebutan kursi kepemimpinan DPR. Mulai ketua, wakil ketua hingga pimpinan pada alat kelengkapan DPR.

Bahkan KMP juga efektif mempengaruhi pembentukan alat kelengkapan di DPRD provinsi dan kota kabupaten seluruh Indonesia. Dengan segala plus dan minusnya KMP ini telah menguatkan posisi lembaga legislatif sebagai penyeimbang pemerintah.

Jadi, meskipun demokrasi itu pada dasarnya adalah akeh-akehan, tapi dalam kondisi tertentu para politisi bisa membangun kekuatan baru dengan berkoalisi.

Tentu saja, di setiap jaman dan keadaan itu dibutuhkan ide serta gagasan yang berbeda untuk membangun kekuatan koalisi. Satu strategi yang semula efektif, belum tentu bisa kembali digunakan. Itulah perlunya apik-apikan gagasan.

Hari-hari ini kita masih akan melihat konstelasi pertarungan politik di lembaga DPR dan juga di DPRD Provinsi serta Kota Kabupaten. Akankan ada gagasan apik yang akan menang atas pihak yang akeh.

Kita tunggu sambil asyik nyeruput kopi atau mijetin istri.

Salam,
#PolitikituAsyik

(04/10/2019)

Baca juga :