[PORTAL-ISLAM.ID] Pak Jusuf Kalla, biasa disapa Pak JK adalah pria murah senyum, yang selalu terlihat, kapanpun ia muncul, dengan raut wajahnya solah selalu basah dengan air wudhu. Pak JK, pria asal Sulawesi Selatan ini, bukan pria biasa. Dua kali menjadi Wakil Presiden jelas bukan hal biasa. Semakin tidak biasa karena Pak JK dua kali menjadi Wakil Presiden untuk dua figur presiden yang berbeda. Ini adalah satu pencapaian yang tidak dapat, setidaknya sejauh ini, dicapai orang lain dalam tradisi politik kepresidenan Indonesia. Ini kasus spesifik.
Dirinya, karena itu harus diakui memiliki pengetahuan praktis dan aktual tentang seluk-beluk hubungan antar lembaga negara. Rasanya pengetahuannya soal ini lebih dari siapapun. Karena lebih dari siapapun itulah, maka penilaiannya tentang kesamaan status lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 saat ini, beralasan didalami lebih jauh.
Penilaian itu disampaikan Pak JK kepada pimpinan MPR dalam pertemuan mereka (Kamis, 17 Oktober) di rumah dinasnya. Menirukan diskripsi Pak JK, Bambang Soesatyo, Ketua MPR dari Golkar, yang sempat merintis jalan menuju Ketua Umum Golkar ini, dan mungkin akan terus merintis memperbesar jalan itu, mengungkapkan hal yang dikatakan Pak JK. Katanya Pak JK pun mempertanyakan siapa yang berwenang mengawasi lembaga jika semua lembaga memiliki kewenangan yang sejajar. Yang menjadi pertanyaan Pak JK siapa mengawasi siapa? (Republika.co.id, Kamis, 17/10).
Harus Sangat Cermat
Pidato dua sahabat baginda Muhammad Rasulullahu Alaihi Wasalam, Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar, berkelas. Kata Sayidina Abubakar pada pidatonya sesaat setelah diangkat sebagai khalifah; Saudara-saudara aku telah diangkat menjadi pemimpin, bukan karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.
Kujur, Sayidina Abubakar melanjutkan adalah amanah, dan kesombongan adalah hianat. Orang lemah di antrara kalian aku pandang kuat posisinya disisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. Orang kuat di antara kalian aku pandang lemah posisinya disisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan cara yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Sungguh berkelas.
Tidak kalah berkelasnya adalah pidato sayidina Umar Bin Khattab, segera setelah dilantik sebagai khalifah. Kata-katanya dalam pidato itu sungguh merupakan pantulan jiwanya. “Aku ini keras, banyak orang takut padaku.” Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkanku.
Tak berapa lama muncul seorang dengan menghunus pedang, seraya berkata akulah yang akan meluruskanmu. Hebat, berkelas betul. Sayidina Umar menyambut seruan itu dengan “Alhamudlillah, masih ada orang yang mau dan berani mengingatkanku".
Pidato seperti itukah yang akan diucapkan Pak Jokowi segera setelah diambil sumpahnya di MPR? Saya tak berharap, dan memang tak perlu berharap. Sejarah juga menyodorkan serangkaian kenyataan tentang penguasa yang tak suka diawasi. Mereka karena itu, dalam sejarah, memutar otak untuk menemukan segala cara agar tak terawasi. Runya sejarah itulah yang membawa James Madison, arsitek UUD Amerika menemukan cara, yang kelak disebut ilmuan tata negara dan politik dengan check and balances.
Pengawasan, untuk alasan dan kepentingan apapun, selalu menjadi hal penting. Apalagi dalam bernegara. Itu bukan karena tidak ada orang jujur, adil, penyanyang, pembela orang-orang kecil, berpihak penuh pada hak, dan tegas berkelahi dengan kejahatan, siapapun penjahat itu, yang memerintah. Sama sekali tidak.
Bukan juga karena tidak ada malaikat yang datang memerintah, dan memang tidak ada malaikat yang memerintah. Karena malaikat, demikian James Madison, tidak menjadi pemerintah, dan pemerintah itu bukan malaikat, mereka memiliki ambisi, maka ambisi itu harus dilawan dengan ambisi dari cabang kekuasaan lainnya. Setiap orang dibekali nafsu, ambisi dan kepentingan, yang bisa membawanya menjadi tiran, sehingga kekuasaan itu harus dikontrol.
Cara melokalisir ambisi, dan kepentingan itu adalah mengerangkakan, menyatukan, ambisi dan kepentingan itu pada hukum, pada konstitusi. Itu pertimbangan filosofisnya. Bagaimana teknis pembatasannya? Teknisnya adalah menyebarkan atau meleburkan unsur-unsur tertentu dari satu cabang kekuasaan ke cabang kekuasaan yang lain. Skema ini tumpang tindih.
Mereka akhirnya harus saling mengawasi secara berimbang, cheks and balances dalam statusnya sebagai organ yang satu dan lainnya sejajar. Tidak ada satu lembaga yang lebih tinggi statusnya dari yang lainnya. Menyatakan perang misalnya adalah kekuasaan yang sepenuhnya bersifat eksekutif. Tetapi DPR dilibatkan pada saat presiden menggunakan kekuasaan ini. Bagaimana bentuk pelibatannya?
Dalam kasus Indonesia Presiden menjadi Panglima tertinggi Angkatan darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Presiden juga memegang kekuasaan menyatakan perang. Tetapi DPR dilibatkan pada saat Presiden hendak menggunakan kekuasaan ini. Bentuk pelibatan DPR adalah “memberi persetujuan.” Memberi pengampunan, sesuai asalnya sepenuhnya menjadi urusan eksekutif. Tetapi Yudikatif dilibatkan ketika presiden hendak menggunakan hak itu. Bentuknya adalah “memberi pertimbangan.”
Peringatan
MPR yang mengubah UUD 1945, sangat hati-hati dalam urusan ini. Mereka memperhitungkan dengan tepat kemungkinan terjadi konflik, sengketa antarlembaga negara. Tergoda dengan paham bernegara berdasarkan hukum, tentu dalam makna terbatas, mereka menyediakan cara memecahkan konflik itu. Penyelesaiannya dilakukan melalui hukum. Mahkamah Konstitusi disediakan untuk menyelesaikan sengketa tipikal itu.
Lalu mengapa Pak JK masih mempertanyakannya? Suka atau tidak, Pak JK mungkin merupakan satu-satunya orang yang sangat mengerti seluk-beluk hubungan antarlembaga negara secara praktis. Dan Pak JK, saya duga, lebih dari siapapun, tahu bernegara atau berpemerintahan menurut konstitusi memerlukan kearifan-kearifan khas. Mungkin juga Pak JK, yang dituntun pengalamannya sampai pada penilaian meyakinkan bahwa penyelesaian melalui forum hukum, setuntas apapun, tetap saja menyisakkan atau tak tuntas dalam penilaian moral non hukum.
Penyelesaian melalui forum hukum, untuk alasan apapun, dimanapun dan dalam kasus apapun, selalu meninggalkan luka. Selalu ada yang terluka, untuk beberapa lama. Entah diperhitungkan atau tidak, dalam kenyataannya MPR yang mengubah UUD 1945 telah menempatkan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan terakhir dalam penyelesaian sengketa hukum di negeri ini, tanpa menyediakan alternatif lain.
Entah kurang daya imajinasi atau sebab lain, kenyataannya MPR tidak dirancang ulang, kala itu tentu saja, menjadi lembaga yang memegang fungsi itu; menyelesaian sengketa antar lembaga negara. Padahal cara ini tidak serta-merta membawa dan menjadikan MPR lembaga tertinggi negara. Toh MPR, dalam rancang ulang itu telah tidak lagi berstatus sebagai satu-satunya organ pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. Juga tak lagi diberi kewenangan membuat Ketetapan MPR diluar GBHN.
Akankah MPR memperhatikan dengan sungguh-sungguh peringatan Pak JK itu? Politisi tak selalu dapat ditebak ujung kata-katanya. Apalagi Pak JK, sudah berada dihari-hari yang pendek memasuki akhir jabatan sebagai Wakil Presiden. Siapa mengawasi siapa, memang bukan kata akhir Pak JK, tetapi pertanyaan kritis itu menandai jejak Pak JK di ujung jalan pemerintahan ini tentang perlunya pengawasan. Pak JK, selamat memasuki hari baru; hari-hari mengurus masjid, bersantai dan bercanda dengan cucu-cucu.
Jakarta, 18 Oktober 2019
Penulis: Margarito Kamis