OKE DEH KALAU BEGITU, BOSS


OKE DEH KALAU BEGITU, BOSS

Begini, Boss.
Ente bilang, "Hubungan saya dengan Pak Jokowi sangat mesra tapi banyak yang nggak suka".

Pede banget ente, Boss. Bedakan dong, Boss. Pendukung Jokowi itu umumnya mendukung Jokowi karena orang atau sosok Jokowi. Pokoknya walau langit runtuh, Jokowi harga mati. Pendukung ente beda. Mereka mendukung ente karena nilai bukan karena ente punya sosok. Kalau ente sudah membuang nilai itu, berarti ente sudah meninggalkan ente punya pendukung.

Jadi jangan kepedean dengan mengatakan, rekonsiliasi ini demi bangsa dan Negara. Agar bangsa ini tidak lagi terbelah. Jadi ente anggap kalau ente bermesraan dengan penguasa, pendukung ente juga ikutan mesra. Nggak gitu, Boss. Sebagian pendukung ente hanya akan mendukung kalau ente masih memegang nilai yang diamanatkan kepada ente, Boss.

Inget, Boss. Ente didukung oleh Ijtima Ulama. Ente paham dong…pasti ada nilai-nilai islami pada nilai program yang ente genggam itu. Jadi, ini bukan soal ente sholat jum’at dimana. Walaupun rival ente dipoto cekrak cekrek waktu sholat, jadi imam, ketemu ulama, masuk pesantren, pakai peci dan sarung, tapi kalau nggak menggengam nilai islami dalam kebijakannya ya sama juga bohong. Mungkin saja dia juga memegang nilai islami itu, tapi –husnuzonnya—jalannya berbeda. Bukan berarti ente mengusung khilafah seperti yang selama ini dituduhkan oleh para buzzer istana, tapi nilai-nilai Islam yang masih dalam koridor UUD 45 yang sudah diamandemen dan Pancasila. Paham kan, Boss? Pasti pahamlah. Ente kan kutu buku, pinternya nggak ketulungan.

Nah, kalau ente mau melepaskan nilai-nilai itu, apa salahnya ente lepas baik-baik. Walapun ente mau bercerai dengan sebagian pendukung ente, bercerailah secara baik-baik. Ente bisa lepas secara resmi nlai itu. Ente bisa bikin pidato resmi kaya gini:

“Saudara-saudara. Kita sudah kalah pilpres. Segala jalan hukum sudah kita tempuh. Saya mengakui kita kalah. Saya ucapkan selamat kepada pemenang. Kepada para ulama yang telah mendukung saya dari hasil ijtma ulama, saya ucapkan terima kasih telah mendukung saya. Saya kembalikan amanat itu kepada para ulama. Saya akan kembali kepada partai saya yang saudara-saudara tahu bukan partai yang berbasis agama. Tentu saja saya tidak akan mempertentangakan partai nasionalis dengan partai yang agamis. Tentu saja partai agamis itu pasti nasioanalis, dan partai nasionalis juga punya nilai agamis. Itu cuma istilah yang lazim digunakan di perpolitikan kita.”

Kira-kira kaya gitu deh. Artinya ente sudah melepaskan nilai itu kepada yang memberi amanah. Setelah itu ente mau ngapain kek. Kalau masih ada pendukung ente yang ngedumel ente bermesraan dengan penguasa, itu bukan urusan ente karena ente sudah kembali ke leptop.

Lha ini kan nggak. Ente bawa terus nilai itu ke MRT sambil menikmati makan sate, terus ente bawa ke istana sambil ngelirik kursi. Itu yang bikin sebagian pedukung ente keki. Bukan soal kasmaran dengan penguasanya, tapi soal nilai itu yang masih melekat pada diri ente, Boss.

Ditambah lagi dengan sikap partai ente yang semakin jauh dari nilai itu. Ambil contoh tiga sajalah. Pertama, partai ente menunjuk keponakan ente yang perempuan dan non muslim pula untuk tampil membaca doa di acara resmi sidang paripurna MPR. Untung Pak Zul mengambil alih dengan membaca doa pendek. Terus partai ente ngambek, keluar ruang sidang. Ngomel di tipi, menuduh Pak Zul intoleran. Tahu, nggak Boss? Pak Zul menyelamatkan ente punya partai. Kalau sampai kejadian keponakan ente yang baca doa, wah nggak kebayang deh akal rame deh medsos. Jadi, siapa yang intoleran?

Nggak usah dilihat dari sudut pandang agama deh. Kite lihat aje indikasinye. Setelah Pak Zul menyabotase pembacaan doa itu, adakah protes dari para tokoh agama yang paling liberal sekalipun yang selama ini selalu rajin bicara soal toleransi? Nggak ada, Boss. Cuma politisi partai ente yang ngoceh soal intoleransi gara-gara “dilarang” baca doa.

Begini, Boss. Peserta sidang paripurna itu mayoritas laki-laki dan mayoritas muslim. Ente kan paham kepatutannya seperti apa. Coba deh kilas balik. Sejak zaman Bung Karno sampai zaman Jokowi, ada nggak pada acara resmi kenegaraan, yang membaca doa perempuan dan non muslim? Bahkan sejak zaman Soeharto pada masa dia tidak mesra dengan umat Islam juga nggak ada tuh. Sampai zaman Jokowi yang dituduh sebagai era liberal juga nggak ada tuh. Bukan mereka nggak paham soal toleransi, Boss. Mereka paham soal kepatutan. Mereka tidak mau menyinggung perasaan mayoritas. Itu baru namanya toleransi, Boss.

Kedua, kayanya partai ente lagi berencana memperjuangkan RUU PKS sebagaimana terlihat semangatnya keponakan ente memperjuangkan hal itu. Padahal ente tahu, para ulama yang tergabung dalam ijtima ulama menentang sebagian pasal pasal dari RUU PKS. Mungkin ente bilang, lho saya kan sudah tidak terikat lagi dengan ijtima ulama. Makanya kan diatas ane usul, lepaskan amanah itu secara baik-baik. Biar jelas urusannya. Biar sebagian pendukung ente tahu dimana ente berdiri sekarang. Gitu, Boss.

Ketiga, petinggi partai ente katanya menyampaikan pidato resmi kalau kekalahan ente karena tuduhan khilafah. Suuzonnya, kayanya ente nyesel ya didukung ijtima ulama? Mudah-mudahan sih nggak gitu. Lagian tuduhan khilafah itu kan kerjaannya buzzer penguasa. Khilafah, antek-antek HTI, intoleran, radikal-radikul itu bacaan wajib para buzzer penguasa. Mereka bukan hanya menuduh ente, Boss. Pokoknya siapa saja yang mengeritik penguasa, mereka akan tuduh antek-antek HTI, radikal radikul, pro khilafah. Karena mereka kan dungu permanen, nggak punya argumen.

Novel Baswedan yang minta keadilan agar kasusnya cepat terungkap, mereka tuduh antek-antek HTI. KPK yang tidak setuju revisi RUU KPK mereka tuduh Taliban. Majalah Tempo yang dulu dianggap sebagai pro Jokowi sekarang juga mereka serang dengan tuduhan majalah Gerindra, pro HTI, pro radikal-radikul gara-gara Tempo mengeritik kebijakan penguasa. Najwa Shihab yang selama ini dikenal sebagai pendukung Jokowi, karena sekarang mereka anggap pro pada mahasiswa dan pro pada KPK juga mereka serang dengan tuduhan ini itu.Tidak puas sampai disitu. Ada Buzzer yang menghina suami Najwa sebagai kadal gurun karena suami Najwa itu keturunan Arab. Para ketua BEM juga mereka kuliti pribadinya. Mereka tuduh antek-antek HTI, kadal gurun dan semacamnya. Kurang dungu gimana,coba?

Satu lagi, Boss. Ente bilang kalau nggak ada politisi Gerindra yang kebagian kursi kabinet, ente akan tetap loyal. Loyal jadi penyeimbang. Maksudnye ape, Boss? Loyal pada penguasa mah bukan penyeimbang namanye. Penyeimbang mah loyalnya pada rakyat. Tul nggak?

Makanye karena peran oposisi sudah ente tinggalkan, peran itu sekarang sudah diambil oleh mahasiswa. Kalau ente mau balik lagi kayanya kursi oposisi sudah nggak kebagian lagi, Boss. Kalau nggak lebagian kursi cabinet, nggak kebagian kursi oposisi, ente mau duduk dimane? Hehehehehe….

Jadi rekonsilaisi agar tidak ada perpecahan anak bangsa, sudah tidak relevan lagi. Cuma pemanis bibir. Sepanjang penguasa adil pada rakyatnya, rakyat tidak akan terbelah. Kalau rakyat merasa penguasa tidak adil, mereka tetap akan protes. Masalahnya, buzzer pro penguasa lah yang bikin keterbelahan itu dengan menuduh rakyat begini begitu. Lagian sejak usai pilpres kan mestinya para relawan sudah bubar bukan malah dipelihara. Presiden terpilih adalah milik rakyat bukan hanya milik relawan. Selama masih ada relawan pro penguasa, selama itu pula rakyat tidak merasa memiliki presiden. Dan akan terus terbelah. Rakyat di satu sisi, relawan di sisi lain. Lho, kan relawan rakyat juga. Iya, rakyat yang rela mengadukan rakyat lainnya ke polisi, menyerang rakyat lain di medsos, bikin fitnah ini itu.

Oke deh, Boss. Nikmati saja situasinya. Selamat bermesraan dengan penguasa. Semoga mawadah wa rohmah. Amin.

Oleh: Balyanur

Sumber: https://bilikopini.com/oke-deh-kalau-begitu-boss/

Baca juga :