[PORTAL-ISLAM.ID] Amnesia. Ada yang kaget kenapa Jokowi merangkul Prabowo, pesaingnya, menjadi menteri dalam kabinetnya. Kaget juga mengapa Prabowo mau.
Jika kita mau sedikit menelusuri memori, itu sebenarnya tidak mengagetkan.
Meski para pendukung menyebut langkah Jokowi itu jenius (pemain catur politik yang ulung, katanya), masuknya Prabowo dalam kabinet lebih karena faktor Megawati Soekarnoputri (pemilik PDI Perjuangan, partai utama di belakang Jokowi).
Pada tiga pilpres yang lalu, Prabowo dan Mega adalah pasangan yang berlaga melawan Susilo Bambang Yudhoyono.
PDI Perjuangan dan Gerindra berkoalisi mempromosikan Jokowi menjadi gubernur Jakarta, yang membuatnya cukup populer untuk maju calon presiden. Dan sukses.
Lima tahun ke depan, Mega dan Prabowo akan memuluskan Puan Maharani maju pada pilpres 2024, dengan menyingkirkan pesaing potensial (Sandiaga Uno, Agus Yudhoyono, Anies Baswedan, Ridwan Kamil). Atau menyandingkan Puan dengan satu dari mereka di mana perlu.
Atau mungkin akan mengorbitkan anak dan menantu Jokowi, yang sekarang mulai menjajal peruntungan di pilkada Medan dan Solo.
Tidak ada yang baru, dan seharusnya tidak mengagetkan. Jokowi adalah bagian dari ekosistem oligarki politik yang sama. Alih-alih grandmaster, dia lebih mirip pion di papan catur.
Para oligark bisa bersama atau bersaing dalam pemilu. Tapi, pada dasarnya, mereka dalam spesies yang sama. Tak ada kawan dan lawan abadi dalam pilitik oligarki. Yang abadi adalah kepentingan.
Politik tanpa nilai dan prinsip moral? Janji pemberantasan korupsi dan penegakan HAM hanya asyik dipakai sebagai modal jualan kampanye.
Penulis: Farid Gaban