[PORTAL-ISLAM.ID] Jokowi bisa diimpeach, kata Bang Surya, sapaan untuk Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, pada satu kesempatan belum lama ini. Bang Surya mungkin hendak mengingatkan Pak Jokowi yang terlihat mempertimbangkan penerbitan Perpu pembatalan RUU Perubahan UU KPK, yang baru saja disahkan. Sinyal yang sama juga diberikan oleh prefesor Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung. Profesor ini dikenal sebagai salah satu arsitek lahirnya UU KPK.
Diujung ekstrim lainnya sejumlah orang, terutama mahasiswa tetap pada pendirian mereka. Kelompok ini cukup tegar. Mereka terus, dengan cara khasnya meminta dalam nada mendesak Pak Jokowi menerbitkan Perpu KPK. Bagi kelompok ini presiden tidak bisa dimakzulkan hanya karena dirinya menerbitkan Perpu KPK.
Pak Jokowi dilematis, terjepit, tentu saja. Menelan mentah-mentah peringatan Bang Surya dan Profesor Romli akan melukai mahasiswa. Mahasiswa yang terluka emosi intelektualnya dapat diperkirakan akan kembali ke jalan.
Mereka mungkin akan berdemonstrasi lagi. Mungkin akan lebih masif. Sebaliknya bila Pak Jokowi mengikuti kehendak mahasiswa, maka Bang Surya, dan koleganya di jajaran sekutu inti Pak Jokowi besar kemungkinan akan merasa dihianati, setidaknya tertampar.
Wewenang Presiden
Sampai detik ini RUU yang telah disahkan menjadi UU itu belum diundangkan. Secara formil RUU ini belum berlaku sebagai UU. Lain soalnya bila setelah tanggal 17 Okober. Setelah tanggal itu RUU yang disahkan menjadi UU itu genap berusia 30 hari. Menurut UUD 1945 RUU yang telah disahkan menjadi UU, dan dalam waktu 30 hari tidak diundangkan oleh Presiden, sah berlaku sebagai UU.
Karena sampai saat ini belum berlaku sebagai UU, maka tidak mungkin dicabut. Apa yang mau dicabut? UU-nya belum ada kok dicabut. Dengan demikian maka Perpu sangat mungkin diterbitkan, bila Pak Jokowi mau, setelah tanggal 17 Oktober. Tidak mungkin sebelum tanggal itu. Tidak ada hukumnya.
Menurut UUD 1945, khsususnya pasal 22 UUD 1945 Presiden adalah satu-satunya figur tata negara pemegang wewenang menerbitkan Perpu. Wewenang ini bersifat tunggal, tak terbagi. Kapan wewenang ini dapat digunakan? Pada saat Presiden, dengan pertimbangan pribadinya menilai ada keadaan yang secara hukum bersifat “genting yang memaksa.”
Presiden harus meyakini bahwa keadaan itu mengandung sifat “genting yang memaksa.” Keadaan genting yang memaksa itu tidak harus, secara hukum mengandung “bahaya nyata.” Tidak. Bahaya nyata tidak menjadi syarat. Keadaan genting yang memaksa itu bersifat potensial. Tidak perlu nyata.
Tetapi justru di situlah masalahnya. Potensi genting yang memaksa macam apa yang dinilai ada atau tercipta bersamaam atau sesaat setelah diberlakukannya UU KPK? Presiden harus dapat menjelaskannya. Presiden menurut hukum bisa saja mengarang keadaan yang menurut penilaiannya berpotensi, bukan nyata-nyata atau faktual genting yang memaksa.
Sifat subyektif penilaian presiden atas keadaan yang dengannya menghasilkan keadaan genting yang memaksa bisa berubah menjadi obyektif, dengan satu syarat. Syaratnya DPR menyetujui penilaian pribadi presiden atas keadaan yang dinilai genting yang memaksa itu. Bila DPR menyetujui penilaian presiden, maka Perpu diterima dan ditingkatkan statusnya menjadi UU. Peningkatan atau perubahan status dilakukan dengan UU. Sebaliknya bila DPR menolak, maka Perpu dicabut.
Pencabutan Perpu merupakan sanksi konstitusional atas ketidaktepatan presiden menilai keadaan, bukan menggunakan wewenangnya. Sebesar apapun kekeliruannya dalam menilai keadaan sehingga dikualifikasi sebagai kegentingan yang memaksa, tidak dapat, dengan alasan apapun, dikualifikasi sebagai tindakan melanggar konstitusi. Kekeliruan itu tidak bisa dikualifikasi sebagai tindakan menghianati negara atau melakukan perbuatan tercela. Tidak. Konsekuensinya presiden tidak bisa dimakzulkan.
Tidak Berharga
Nyatanya atmosfir konstitusionalisme itu tidak cukup bersahabat. Jokowi bisa ke kursi presiden, bahkan melanjutkan pemerintahannya untuk periode kedua berkat persekutuan hebat partai-partai yang mencalonkan dirinya. Tidak lebih. Untuk alasan apapun, sukses itu tidak bisa dilepaskan dari kerja keras, habis-habisan, tak kenal lelah partai-partai dalam sekutu initi mencalonkan dirinya.
Itu jelas, tak bisa dibantah. Apakah faktor ini tak perlu dipertimbangkan Pak Jokowi? Itu urusan Pak Jokowi.
Bang Surya dan sekutu-sekutunya yang melambungkan Pak Jokowi untuk periode pemerintahan keduanya kali ini, bukan politisi kemarin sore. Orang-orang ini tahu betul tentang bahaya kekuasaan yang berkarakter absolutis. Itu sebabnya beberapa di antara mereka bukan hanya tak keberatan, tetapi aktif dalam usaha membatasi kekuasaan presiden dan DPR.
Itu sebabnya mereka yang terlibat dalam perubahan UUD berupaya betul membuat hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif setara dan transparan. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Mereka akhirnya merancang kekuasaan presiden dan legislatif dalam satu skema kerja tidak saling menerjang, tidak saling jadi serigala lapar untuk yang lainnya. Semangat itu ditulis dalam pasal yang mengatur hubungan fungsional –wewenang- Presiden dan DPR dalam UUD 1945 saat ini. Bagus.
Karakter tidak saling menjadi serigala lapar itu dikerangkakan dalam wewenang kedua kekuasaan dalam bidang pembentukan UU. Kekuasaan membuat UU dipegang DPR, tetapi wewenang ini dibagi dengan Presiden. Dalam konteks pembagian ini, presiden diberi hak ikut membahas RUU bersama DPR. Bahkan Presiden bersama-sama DPR menyetujui RUU menjadi UU.
DPR tidak bisa menggunakan kewenangan legislasi bila Presiden tidak mau ikut membahas RUU itu. Kalaupun presiden ikut membahas, tetapi Presiden tidak menyetujui beberapa isu dalam RUU yang dibahas itu, maka RUU itu tidak bisa disahkan menjadi UU.
Faktanya presiden ikut membahas RUU KPK Perubahan dan telah memberi persetujuan atas RUU itu. Salah satu isu konstitusional yang diatur dalam UU ini adalah KPK dinyatakan sebagai bagian dari cabang kekuasaan presiden, eksekutif. Ini masuk akal. Isu lainnya adalah pembentukan unit pengawasan di dalam organ KPK.
Organ ini berfungsi mengawasi penggunaan beberapa kewenangan penyidik. Ini juga masuk akal. Ini fikiran yang sehat dalam langgam demokrasi konstitusional.
Karena Pak Jokowi terlibat dalam membahas dan memberi persetujuan atas hal-hal itu, maka wajar sekali bila Bang Surya dan koleganya dalam barisan sekutu politis intinya menganggap Pak Jokowi tahu, sadar dan menghendaki hal-hal itu. Karena mengetahui, sadar dan menghendaki, maka sangat mungkin mereka, dan ini masuk akal, sampai pada titik yang amat logis Pak Jokowi tidak punya alasan, sekecil apapun, menerbitkan Perpu.
Bagaimana bila kalkulasi politik Pak Jokowi membawa dirinya pada pilihan menerbitkan Perpu? Apa yang akan dinilai Bang Surya dan sekutu-sekutu taktisnya? Apapun itu, bagaimana bila Bang Surya dan koleganya dalam barisan inti sekutu intinya terpaksa harus mencari defenisi baru tentang eksistensi mereka dalam barisan Pak Jokowi?
Hebat bila Bang Surya dan koleganya menemukan defenisi bahwa politik memang memerlukan saling pengertian, mamahami dan bertoleransi.
Itu satu kemungkinan. Kemungkinan lain, mungkin ekstrim, Bang Surya dan koleganya di luar Ibu Mega mendefenisikan penerbitan Perpu tidak lebih dari sekadar permainan politik Pak Jokowi mengamankan kekuasaannya. Parah bila Bang Surya dan koleganya non Ibu Mega mendefenisikan diri mereka sedang dipermainkan Jokowi. Semoga mereka tidak menemukan diri sebagai barang tidak berharga, yang bisa dipermainkan pak Jokowi kapan saja. Semoga tidak, karena sangat krusial.
Semakin krusial bila Ibu Mega juga sama; menemukan diri ditengah penerbitan Perpu itu sebagai orang yang turut dipermainkan Jokowi. Beralasan sukup bila Ibu Mega sampai pada kesimpulan itu. Penilaian ini masuk akal. Toh semua alasan penerbitan Perpu bersifat subyektif. Karena bersifat subyektif, maka dapat diperdebatkan. Logikanya bila Jokowi mau, maka Pak Jokowi bisa saja tidak menerbitkan perpu.
Tetapi apapun itu, Pak Jokowi hampir pasti sedang menyusuri lorong sempit yang satu ujung ektrimnya dengan ujung ekstrim lainnya menyediakan perangkap. Pak Jokowi hanya perlu tahu bahwa sekutu-sekutu intinya mungkin terluka, merasa tertampar, sangat kasar. Bila rasa ini ada, maka Pak Jokowi perlu menimbang betul bahwa lima tahun yang panjang yang terbentang dihadapannya, bisa saja berubah drastis menjadi lima tahun yang amat sangat pendek.
Mengeluarkan Perpu itu sah, apapun alasannya.
Apapun alasannya pula penerbitan Perpu tidak bisa dijadikan alasan pemakzulan. Tetapi dengan berbagai alasan, apapun yang tersedia, hal yang sah itu bisa teridenifikasi sebagai hal yang melukai citarasa politik sekutu-sekutu intinya. Itu soal besar. Suka atau tidak politik bernegera memerlukan topangan rasa saling menghargai, menjaga dan bertoleransi. Melukai sekutu politik inti, sama dengan memberikan senjata terkokang dan meminta mereka menembakannya, kelak pada saat yang tepat.
Jakarta, 6 Oktober 2019
Penulis: Margarito Kamis