Hikayat Hamid dan Menteri Nadiem
Nama Habib Abdurrachman al-Zahir sangat disegani Belanda. Sosok yang juga disapa Habib Itam ini memimpin perlawanan rakyat Aceh dengan hasil amat merepotkan Belanda. Tak heran bila Dr C Snouck Hurgronje menyebutnya sosok mengkhawatirkan. Karismanya mengikat perbedaan para hulubalang pribumi Aceh. Ditambah lobi ke Turki. Klop kalau sang Habib mesti ditaklukkan.
Di kemudian hari, Habib Itam memang tunduk pada Belanda. Menyerah hingga dibuang ke Jeddah. Diberinya persekot besar dan gaji bulanan yang juga amat lebih dari cukup. Hingga para opsir Belanda geleng kepala sembari ngamuk-ngamuk, "Bagaimana bisa pemberontak begitu dianakemaskan? Sementara kita yang berjuang hanya dikasih gulden segini!"
Begitulah riwayat Sang Habib. Seolah antiklimaks dari gema jihad yang pernah dikumandangkannya semasa di Aceh. Namanya tercatat sebagai pengkhianat. Sampai Anthony Reid menerjemahkan surat pembelaan diri sang Habib atas tudingan pengkhianatan itu. Tak ayal Mr Hamid Algadrie, dalam bukunya "C.Snouck Hurgronje; Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab", memberikan ruang halaman dan alinea cukup panjang soal sang Habib dan petikan artikel Reid.
Hamid Algadrie, seorang Arab yang berjuang gigih dalam kemerdekaan RI, wajar memberikan porsi pelurusan fakta sebagai opini bandingan pada Habib Itam. Kendati ini tak bermakna apa pun bagi nama baik sang Habib.
Saya tertarik dengan usaha Mr. Hamid Algadrie karena membayangkan kalau ia masih hidup sekarang. Sebab mendapati kenyataan cucunya yang disangka tidak-tidak: Nadiem Makarim. Soal pilihan politik sang cucu yang dianggap "aneh" gegara berbeda bahkan membelakangi lazimnya WNI berdarah Arab. Saat Pilkada 2017 DKI Jakarta, ia mesra sebagai pendukung penguasa petahana Jakarta: Basuki Tjahaja Purnama. Dua kali perhelatan Pilpres, ia ekstensif tampil sebagai pendukung Joko Widodo. Kalaulah hari ini ia didapuk jadi menteri, sebenarnya biasa saja; lazim bagi seorang pendukung ditambah Nadiem punya modalitas selaku anak muda empu Gojek di luar kapasitas diri selaku alumnus Harvard dan trah keluarga intelektual.
Siapa Nadiem? Ia putra dari Atika Algadrie, anak perempuan Hamid Algadrie, nama penulis Habib Itam tadi. Ayah Nadiem, Nono Anwar Makarim, saya mengenalnya sebagai kolumnis Tempo dan pendiri LSM Aksara. Atika sendiri orang penting di balik The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris yang sempat dimiliki grup Kompas Gramedia dengan kepemilikan baru di bawah kendali taipan pro rezim Jokowi: Sofjan Wanandi.
Lupakan nama Hamid Algadrie yang masih ada nuansa keislaman (meski tak "sehijau" misalnya A.R. Baswedan, kakek Gubernur DKI terpilih Anies, yang aktif di Masyumi). Nadiem besar dalam habitat keluarga inti yang sekuler. Pengaruh pergaulan selama banyak menimba ilmu di Amerika jelas terasa. Wine sudah jamak jadi jamuan di tenggorokan. Nono Anwar Makarim sendiri dalam banyak kesempatan kurang menampilkan sikap respek pada Islamisme, setidaknya sejauh amatan saya membaca pelbagai tulisannya, kendati juga tidak sampai taraf benci di ubun-ubun pada islamisme politik. Hanyasanya ia setidaknya memadai jadi oposisi bagi kutub Arab radikal di tanah air--dari Abu Bakar Baasyir sampai Rizieq Shihab. Dari keluarga kurang antusias pada Islam, amat wajar membentuk Nadiem yang membebaskan dalam menata hidup.
Seorang teman Arab saya di Ibu Kota membisikkan di sebalik sosok Menteri Pendidikan kita kini: ada faktor pola asuh dari perempuan Nasrani pada Nadiem kecil. Ia pun mantap menyebut Nadiem sebagai pemeluk Nasrani. Saya belum cek kebenaran berita dari kalangan Arab ini meski telik sandi istana kenalan saya mantap menyebut Nadiem itu Islam secara KTP.
Setahu saya, Nono Anwar Makarim hanya menikah (resmi) dengan Atika. Dan Atika ini tercatat Muslimah. Soal cerai Nono dengan Atika saya juga belum mendapat verifikasi. Belakangan malah mereka acap tampil berdua di hadapan publik. Rujuk? Tak mustahil.
"Sewaktu fest Hadrami 2018 mereka berdua hadir karena ada anaknya yang bicara: Raya Makarim, kakaknya Nadiem," terang sejawat Arab saya yang lain, seorang akademisi di Universitas Indonesia menjawab pertanyaan saya soal rujuk orangtua Nadiem.
Yang terang, Nadiem memilih menikah di gereja dengan perempuan bernama Franka, yang selepas suaminya dilantik jadi Menteri Pendidikan disebut-sebut pernah berkarya di Indonesia Mengajar bentukan Anies Baswedan. Kelak dari pernikahan ini lahir buah hati yang dibaptis seorang pemuka agama istrinya yang dikenal juga penulis prolifik soal toleransi.
Pilihan politik Nadiem untuk bersama penguasa pada 2014, 2017 dan 2019 adalah putusan yang tak perlu disikapi berlebihan. Terutama kita warga yang mendukung islamisme politik. Memang cemas dan gundah selepas Nadiem dipilih itu jamak, yakni membaca rekam jejak dengan latar yang disebutkan di atas. Belum lagi soal determinasi kecondongan hati hingga kalkulasi bisnis daring yang dirintisnya di sini. Apakah pendidikan disederhanakan pemajuannya dengan soal digitalisasi alih-alih memanusiakan manusia dari penindasan, dalam bahasa Syekh Ibnu Asyhur?
Nadiem hanya menjadi dirinya yang dipolaasuhi sedemikian rupa, kita harus terima fakta ini. Lupakan dan pandang biasa saja latar kepahlawanan keluarganya. Kita bisa saja bilang tak sepakat, tetapi lebih afdhal jadikan ini pelajaran buat keluarga kita.
Soal berpolitik, Nadiem jelas manusia dewasa. Ia punya hasrat juga kepentingan. Bahkan ambisi. Semua bisa paham kalau Nadiem memilih menyokong Ahok hingga Jokowi pastilah tahu menahu polah penguasa dukungannya dalam melahirkan kebijakan. Tentunya ia punya perspektif sendiri, sebagaimana pilihan keluarganya untuk bebas beragama dan menikah dengan siapa. Ia pasti mempertanggungjawabkan itu pada masanya nanti. Dan ini biarlah domain pribadinya, asal kita tak mengulangi polah serupa.
Walau demikian, kekonsistenannya membela status quo semata bisnis dan kejiwaan yang sama, malah inilah yang jadi soalan di pikiran saya. Ya, saya mengandaikan manakala sang kakek masih hidup. Dulu Hamid Algadrie menentang diskriminasi kolonial pada suku Arab peranakan. Dulu Hamid bersama tokoh lain di Nusantara memperjuangkan kemerdekaan. Apabila ada pilihan anak keturunannya (meski dari garis anak perempuannya) bernuansa berkebalikan dengan kiprahnya di perjuangan kemerdekaan, entah apa mau dikata. Kalau Habib Itam saja hendak diklarifikasi agar publik tak gegabah menilai satu sisi, entah pada Nadiem. Sebab sosok penguasa yang disokong cucunya sudah bak kolonialis Belanda. Namun anak keturunannya malah berjibaku sebagai pembela.
Arkian, dari hikayat keluarga ini semoga kita semua, pembaca budiman, ambil hikmah; terketuk dalam serius membina keluarga. Tak tahu bagaimana anak keturunan beragama kalau hamba alpa mendidiknya soal iman dan adab. Soal Nadiem di jabatan menteri sekarang, moga saja ia hanya berkutat ke soal memajukan secara teknis dengan memanfaatkan teknologi. Lain soal kalau ia sudah bicara falsafah pendidikan, dijamin akan ada tabrakan pandangan sarwa alias worldview! Dan ini kudu diantisipasi secara bijak dengan hadirkan sikap cerdik merespons kebijakan menteri yang peduli karakter tapi dibangun di atas referensi "tidak jelas".
Namun, sementara ini, benar ujar seorang kenalan di Australia: tak elok kita ceriwisi hanya berdasar asumsi. Tunggu mereka bekerja, lalu berikan kritik ataupun saran. Kiranya ini juga berlaku pada Nadiem kendati tak bisa datar saja alias polos menanti godot kebijakan pendidikan yang apresiatif pada semua kelompok terutama Muslimin selaku mayoritas negeri ini.
Saya kira soal agama sang Menteri logis saja dikomentari publik. Tapi hadirnya Nadiem sebenarnya resultan juga dari kekuasaan yang lebih peduli pada soal capaian angka dan kecepatan karya. Soal latar agama hanya sekunder ke sekian. Kekuasaan yang ada malah lebih suka jadikan agama sekadar gincu dan komoditas citra diri. Nadiem dalam polah ini malah lebih mending sebab ia memang sekuler, tak merasa perlu menjual agama!
Oleh: Yusuf Maulana
*Sumber: fb penulis